STRATEGI KESANTUNAN TINDAK TUTUR DIREKTIF BAHASA JEPANG MAHASISWA SASTRA JEPANG di UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO, SEMARANG

STRATEGI KESANTUNAN TINDAK TUTUR DIREKTIF BAHASA JEPANG MAHASISWA SASTRA JEPANG di UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO, SEMARANG)*

Bayu Aryanto

Elisabeth Novita Putri

 ABSTRAK

Komunikasi verbal yang dinilai berpotensi menjadi ancaman muka para peserta tutur yaitu tindak tutur direktif. Untuk memitigasi keterancaman muka peserta tutur, strategi kesantunan verbal harus diterapkan dalam proses komunikasi. Penelitian ini merupakan penelitian tentang mitigasi keterancaman muka tindak tutur direktif dengan dua fokus penelitian, yaitu (1) strategi apa yang digunakan penutur untuk memitigasi keterancaman muka dalam tindak tutur direktif; (2) bagiamana cara penutur mengungkapkan strategi mitigasi keterancaman muka. Data-data penelitian ini berupa studi lapangan dengan responden mahasiswa pembelajar bahasa Jepang tingkat tiga di Universitas Dian Nuswantoro Semarang.Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsi strategi-strategi kesantunan sebagai upaya para peserta tutur untuk memitigasi tindak tutur yang mengancam muka. Ancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif. Berdasar analisis data diperoleh hasil bahwa penutur menggunakan satu hingga lima startegi untuk memitigasi keterancaman muka setiap tuturan direktifnya. Kemudian, jenis strategi kesantunan negatif lebih mendominasi strategi kesantunan direktif.

 Kata kunci: tindak tutur direktif, strategi kesantunan, penutur, mitra tutur, pengancaman muka

Setiap tindak tutur baik yang langsung maupun yang tidak langsung dapat dianggap sebagai sebuah tindakan mengancam muka atau face threathning act (FTA) penutur dan mitra tuturnya. Brown-Levinson (1996:61) berpendapat bahwa setiap individu memiliki dua sisi muka yaitu muka positif dan muka negatif. Muka positif adalah sisi muka yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, dimilikinya, atau sesuatu yang merupakan nilai yang diyakininya, diakui orang lain sebagai hal baik dan menyenangkan. Sementara itu, muka negatif adalah muka yang mengacu kepada citra diri seseorang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan penutur membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau memberikannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu (Rustono 1999:68-69). Kedua sisi muka tersebut harus dijaga untuk menciptakan keharmonisan hubungan atarindividu.

Tindak tutur direktif berpeluang mengancam muka, baik penutur maupun mitra tuturnya. Usaha yang dilakukan oleh penutur untuk mengurangi tindak tutur yang mengancam muka diwujudkan dalam sebuah strategi kesantunan. Kesantunan diperlukan ketika berkomunikasi untuk menciptakan suatu kondisi yang baik antara penutur dan mitra tutur. Strategi kesantunan digunakan oleh penutur untuk menghindari tindak pengancaman terhadap muka mitra tutur (Brown dan Levinson, 1987:60). Kesantunan muncul karena dilatarbelakangi sebuah tindakan yang dapat mengancam muka orang lain. Brown dan Levinson (1987: 60) menyebutnya dengan FTA (Face Threatening Act).

Sebaliknya, pernyataan yang digunakan penutur untuk mengurangi kemungkinan ancaman tersebut, disebut sebagai tindak penyelamat muka (Yule 2006: 106). Menurut Brown dan Levinson (1987: 85) untuk mengantisipasi keterancaman muka dapat dilakukan dengan beberapa strategi yang diterapkan dalam interaksi sosial sehari-hari tergantung pada derajat keterancamannya. Strategi tersebut yaitu bertutur secara terus (bald on record), bertindak tutur dengan kesantunan postitif, bertindak tutur dengan menggunakan kesantunan negatif, melakukan tindak tutur secara tidak langsung (off record), dan tidak melakukan tindak tutur atau diam saja.

Salah satu contoh tuturan yang dapat berpotensi munculnya pengancaman muka adalah tuturan direktif. Dalam percakapan, seringkali penutur meminta mitra tutur untuk melakukan sesuatu yang disebut dengan permintaan. Sebuah permintaan dapat menyebabkan mitra tutur menjadi kehilangan muka karena mengurangi kebebasannya dalam bertindak (Brown and Levinson, 1987: 129).

Penulis menggunakan penelitian yang bersifat kualitatif dan sebagai cara penyajiannya penulis menggunakan metode deskriptif guna menganalisis strategi kesantunan mahasiswa sastra Jepang Udinus tingkat tiga dalam tindak tutur direktif untuk meminimalisir keterancaman muka mitra tutur.

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan langkah-langkah penelitian sebagai berikut:

  1. Menentukan situasi (場面) percakapan dengan beberapa tema yang diasumsikan dapat memunculkan strategi kesantunan tindak tutur direktif.
  2. Penentuan responden. Responden adalah mahasiswa tingkat tiga yang telah menyelesaikan pembelajaran bahasa Jepang dengan buku Minna no Nihongo 1 dan 2. Pemilihan responden didasarkan pada asumsi bahwa kemampuan mahasiswa tingkat tiga dalam melakukan kesantunan tindak tutur direktif yang lebih bervariasi.
  3. Persiapan teknis berupa alat rekan audio guna merekam percakapan antara penutur asli Jepang dan mahasiswa.
  4. Identifikasi tuturan direktif beserta strategi kesantunannya. Setelah strategi kesantunan tuturan direktif diperoleh, maka dilakukan klasifikasi berdasarkan jenis strateginya, yaitu strategi positif atau negatif. Peneliti melihat jumlah strategi kesantunan yang digunakan oleh responden dalam satu konteks percakapan.
  5. Pemaparan hasil analisis disertai simpulan penelitian.

Permasalahan

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah strategi kesantunan apa yang digunakan penutur untuk memitigasi keterancaman muka tindak tutur direktifnya, dan berapa jumlah strategi kesantunan yang digunakan dalam usahanya memitigasi keterancaman muka tuturan direktifnya.

Kajian Pustaka

Fukuda-Oddie (2007) dalam tesisnya mengenai kesalahan pragmatik pembelajar bahasa Jepang di Amerika yang berkaitan dengan kesantunan tindak tutur permintaan (request) menggunakan penilaian kesantunan berdasarkan dua aspek, yaitu aspek verbal dan nonverbal. Selain aspek verbal, aspek nonverbal dianggap penting dalam kajian strategi kesantunan bahasa Jepang. Penelitian tersebut dalam konteks interaksi di kelas antara guru dan siswanya dimana faktor kekuasaan lebih didominasi oleh guru, sehingga strategi-strategi kesantunannya pun cenderung monoton.

Dunkley (1994:127) menjelaskan bahwa karakteristik tindak tutur direktif bahasa Jepang terletak pada kata kerja donasi (donative verbs) yang bermakna “beri-terima” (verbs of giving and receiving). Pada penggunaan verba donasi, untuk memperlihatkan rasa hormat terhadap mitra tutur dan sikap rendah hati (humble), digunakan bentuk-bentuk honorifik verba donasi. Pada tuturan (1) terdapat verba donasi “moraemasenka” dan tuturan (2) terdapat bentuk honorifik verba “moraimasenka”, yaitu “itadakemasenka”.

(1) “Kono tegami wo yonde moraemasenka.”

(2) “Kono tegami wo yonde itadakemasenka.”

Terjemahan literal (bahasa Indonesia) ‘Tidak bisakah saya menerima pembacaan surat ini (dari Anda)?’

Ada beberapa strategi untuk mereduksi keterancaman muka mitra tutur dalam masyarakat Jepang pada saat mengungkapan tindak tutur direktif bermodus nasihat (advise) (Hoshino 2005:320). Strategi tersebut dapat berupa tuturan yang berisi pengalaman penutur dan kelebihan-kelebihan yang dimiliki penutur. Strategi tersebut dapat diekspresikan sebelum atau pun sesudah tindak tutur nasihat. Ilustrasi berikut terjadi pada sebuah media konseling dengan peserta tutur terdiri atas psikolog dan pasien yang memiliki masalah rumah tangganya dan menginginkan perceraian.

Psi    :(1)“dakara, anata no tokoro ha, mou, rikon nantene, rinojimo icchaikenai

‘maka dari itu, masalah Anda ini, tidak perlulah sampai harus bercerai”

P   : (2) “haa

‘hmm’

Psi    : (3) “mada mada zenzen daijoubu

‘masih bisa diselesaikan’

P   : (4) “ha

‘ya’

Psi   : (5)“watashi ga tada hataraki saserarete, shakkin tsuke ni saseraretette, watashi ha ne, mae muki onna dakara, dakara, mou hitotsu no kangae kata, oshiete agerukarane.”

‘saya hanya disuruh kerja, disuruh pinjam uang, kalau saya tipe orang yang selalu berpikir ke depan, makanya saya akan beritahu (Anda) satu hal…’

Tuturan (5) -pada bagian yang dicetak tebal- merupakan usaha psikolog untuk memitigasi keterancaman muka mitra tuturnya dengan cara mengungkapkan kelebihanan dirinya sendiri yaitu sebagai seorang yang selalu berpikiran ke depan. Kelebihan-kelebihan yang diungkapkan psikolog tersebut diharapkan oleh psikolog agar pasiennya (mitra tutur) dapat menjadikannya teladan sehingga saran-saran yang akan dituturkan psikolog dapat diterima dan diikuti oleh pasien (Hoshino 2005:317).

Tindak Tutur Direktif

Dunkley (1994:122) berpendapat bahwa sebuah tuturan dikatakan sebagai tindak tutur direktif apabila tuturan tersebut mengandung titik ilokusi yang dapat menjadi penyebab mitra tutur melakukan apa yang dikehendaki penutur. Terdapat empat kondisi yang harus dipenuhi oleh sebuah tuturan agar dapat dikategorikan sebagai tindak tutur direktif.

Matsumoto (1988:419) menjelaskan bahwa karakteristik tindak tutur direktif bahasa Jepang terlihat pada fitur gramatikalnya, yaitu penggunaan verba donasi yang memiliki tingkat honorifik. Masing-masing tingkat tersebut digunakan penutur sesuai dengan konteks tuturan.

  1. “Mote”

‘hold this’

  1. “Motte –kure”

‘Hold this for me’

  1. “Motte –kudasai”

‘(lit.)please give me the favor of your holding this’

‘Please hold this for me.’

  1. “Motte-kudasai-masu-ka”

‘(lit.)Will you give me the favor of your holding this?’

‘Will you hold this for me?’

  1. “Motte-mora-e-masu-ka”

‘(lit.) Can I receive the favor of your holding this for me?’

  1. “Motte-itadak-e-masu-ka”

‘(lit.) Could I receive the favor of your holding this for me?’

Tuturan (6) merupakan bentuk direktif yang paling tegas dan digunakan pada saat genting atau digunakan dalam militer sebagai bentuk perintah. Tuturan 7) sampai dengan (11) terlihat bentuk kata bantu kureru (memberi) dan morau (menerima) yang memiliki fungsi untuk menjadikan bentuk direktif tersebut lebih santun.

Strategi Kesantunan Kesantunan

Setiap individu yang normal berusaha menghilangkan atau paling tidak mengurangi tindakan mengancam muka pada saat berkomunikasi dengan individu lain. Brown-Levinson (1996) memaparkannya dalam bentuk strategi-strategi kesantunan yang berpijak pada penyelamatan muka, baik penutur maupun mitra tutur.

Dua faktor penting dalam ekspresi kesantuan bahasa Jepang adalah (1) kaidah-kaidah gramatikal yang tersistem ke dalam bentuk-bentuk morfologis yang menggambarkan tingkat kesantunan, (2) aturan-aturan sosial masyarakatnya (Ide 1982:357)

Dua faktor tersebut belum dijelaskan secara detail dalam teori kesantunan yang dicetuskan oleh Brown-Levinson (1996), sehingga berbagai kritikan terhadap teori tersebut sering dikemukakan terutama oleh para ahli pragmatik bahasa-bahasa Timur. Teori kesantuan Brown-Levinson dianggap terlalu bias dengan latar belakang bahasa dan budaya Barat yang lebih memfokuskan pada konsep individualisme. Penentuan strategi kesantunan Brown-Levinson (1996) hanya mempertimbangkan hubungan antarpeserta tutur, dan tidak menjadikan orang atau pihak ketiga sebagai salah satu “instrumen” dalam penentuan strategi kesantunan pada bahasa di negara-negara Timur seperti bahasa Jepang.

Matsumoto (1988:410) menjelaskan bahwa dalam masyarakat Jepang, rasa ketergantungan terhadap pihak lain, baik secara individu maupun kelompok, merupakan salah satu bentuk penghormatan. Sebagai sebuah pengakuan, seorang yunior mengekspresikan rasa ketergantungannya kepada seniornya, dan sebaliknya, senior pun menganggap permintaan yuniornya tersebut sebuah kehormatan karena telah mempercayai sang senior sebagai pihak yang mampu membantu yuniornya.

Sikap ketergantungan tersebut tidak hanya diperlihatkan pada hubungan yunior-senior. Matsumoto (1988:411) memberikan ilustrasi yang dianggapnya sebagai fenomena yang berbeda dengan budaya Barat dan dianggap sebagai sebuah fenomena yang tidak dijelaskan dalam teori kesantunan Brown-Levinson (1996). Matsumoto (1988:411) memberikan ilustrasi sebagai berikut:

(12) “Doozo yoroshiku onegaishimasu.”

(lit.) ‘ I ask you to please treat me well/ take care of me.’

Tuturan 12) digunakan oleh seseorang pada saat memperkenalkan diri kepada orang lain. Tuturan (12) merupakan sebuah tanda bahwa ada sebuah keinginan dari penuturnya untuk meminta mitra tuturnya menciptakan hubungan yang baik.

(13) Musume wo doozo yoroshiku onegaishimasu

(lit.) ‘I ask you to please treat/ take care of my daughter well’.

Tuturan (13) merupakan tuturan orang tua yang meminta kepada seorang guru agar membimbing anaknya. Tuturan tersebut berindikasi bahwa penutur, atau sang anak atau orang yang memiliki hubungan dekat dengan si penutur, merupakan pihak yang membutuhkan perhatian atau bantuan dari mitra tuturnya. Penggunaan bentuk kenjougo (humble), menandakan bahwa penutur memposisikan dirinya lebih rendah dari pada mita tuturya.

Apabila ditinjau dengan kajian kesantunan yang dikemukakan oleh Brown-Levinson (1996), kedua tuturan tersebut dinilai tidak santun karena terdapat pembebanan (imposisi) terhadap mitra tuturnya yang diwujudkan dengan tuturan yoroshiku onegaishimasu. Tuturan tersebut termasuk dalam kategori tindak tutur langsung (direct speech) yang memiliki fungsi direktif. Dalam lingkup hubungan masyarakat Jepang, imposisi seperti tuturan (12) dan (13) merupakan sebuah tuturan yang dianggap santun. Pembebanan terhadap mitra tutur dalam konteks budaya Jepang dinilai santun karena ada sebuah nilai bahwa tuturan yang di dalamnya terdapat sebuah sikap ketergantungan terhadap mitra tuturnya merupakan salah satu ciri khas kesantunan dalam bahasa Jepang.

Setiap individu memiliki atribut-atribut muka positif dan muka negatif yang di dalamnya terdapat hasrat untuk tidak diganggu oleh individu lain (Brown-Levinson 1986). Pemenuhan hasrat terhadap muka positif dan negatif secara individual tersebut menjadi dominasi dalam hubungan sosial masyarakat Barat. Namun, menurut argumentasi yang dipaparkan Matsumoto (1988:405), ada perbedaan yang sangat mendasar tentang sistem hubungan sosial masyarakat Barat dan Asia, khususnya Jepang. Dalam masyarakat Jepang hubungan sosial antarpeserta tutur sangat diperhatikan. Masyarakat Jepang memandang seorang individu merupakan bagian dari sebuah komunitas kelompok, sehingga indvidu tidak dapat berdiri sendiri. Hubungan antarindividu dipengaruhi oleh hubungan individu tersebut dengan kelompoknya maupun kelompok di luar dirinya.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti mengenai analisis strategi kesantunan tindak tutur bahasa Jepang pada Mahasiswa Sastra Jepang UDINUS tahun ke 3 angkatan 2012, peneliti menemukan 37 tindak tutur direktif dan 33 strategi kesantunan.

Strategi yang digunakan peneliti untuk menganalisis tuturan adalah dengan mengelompokkan strategi kesantunan ke dalam lima kategori berdasarkan jumlah strategi kesantunan yang digunakan oleh penutur. Kelima strategi tersebut adalah satu strategi kesantunan, dua strategi kesantunan, tiga strategi kesantunan, empat strategi kesantunan, dan lima strategi kesantunan. Berikut beberapa contoh analisis data

Konteks 1

Mhs 8 (8.1) : “ sensei, ima yoroshii deshouka? ano.. raishuu watashi ha ronbun wo ano.. tsukuritain desuga, demo toshokan de sankoubon ga nain desu. dou sureba ii deshouka?”

‘Sensei, apakah sekarang tidak apa-apa? Em..saya ingin membuat..makalah, tetapi di perpustakaan buku referensinya tidak ada. Apa yang sebaiknya dilakukan?’

Sensei (8.2) : “ee, motte tara kashite agemasu kedo, nan no ronbun wo kakun desuka?”

‘ee, kalau punya saya pinjamkan tetapi, mau menulis makalah apa?’

Mhs 8 (8.3) : “ano.. kanji no ronbun desu”

‘em.. makalah kanji’

Sensei (8.4): “ kanji no ronbun”

‘makalah kanji?’

Mhs 8 (8.5): “hai”

‘iya’

Konteks pada percakapan terjadi ketika Mhs 8 meminta Sensei untuk meluangkan waktunya sebentar karena ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Terdapat tindak tutur direktif pada tuturan (8.1) “sensei, ima yoroshii deshouka? ano.. raishuu watashi ha ronbun wo ano.. tsukuritain desuga, demo toshokan de sankoubon ga nain desu. dou sureba ii deshouka?” . Mhs 8 berusaha untuk menceritakan permasalahanya kepada Sensei ketika mencari buku referensi tersebut. Setelah bercerita, Mhs 8 melepaskan begitu saja tindak mengancam muka dengan meminta Sensei untuk melakukan sesuatu untuknya yang ditandai dengan “dou sureba ii deshouka?”.

Strategi yang digunakan oleh Mhs 8 yaitu menggunakan strategi kesantunan secara tidak langsung (off record) sub strategi memberi isyarat. Mhs 8 menceritakan permasalahnya kepada Sensei tanpa meminta kepada Sensei untuk meminjam buku secara langsung. Namun, terdapat isyarat tuturan (8.1) yaitu menceritakan permasalahanya kepada Sensei kemudian meminta Sensei secara tidak langsung untuk melakukan sesuatu untuknya. Tuturan tersebut memuaskan muka negatif Sensei. Untuk itu Mhs 8 menggunakan stategi kesantunan off record sub strategi 1 memberi isyarat.

Strategi kedua yang digunakan oleh penutur yaitu dengan menggunakan strategi kesantunan negatif sub strategi 2 yaitu memberikan pertanyaan atau batasan kepada mitra tutur dengan penggunaan bentuk-bentuk pertanyaan berpatikel “-desuga” pada tuturan (8.1). Mhs 8 menggunakan “-desuga” sehingga memberikan kesan tidak memaksakan kehendak kepada Sensei sehingga Sensei memiliki kesempatan untuk menolak atau mengabulkan keinginan Mhs 8 sehingga Sensei merasa tidak terbebani dan dapat menolaknya karena muka negatifnya tidak terancam. Namun sebenarnya Mhs 8 berharap bahwa Sensei mengabulkan permintaanya sehingga mengajukan pertanyaan atau pembatasan seperti pemberian asumsi.

Strategi ketiga yang digunakan oleh penutur untuk meminimalisir keterancaman muka adalah dengan menggunakan strategi kesantunan negatif sub strategi 5 yaitu perbedaan posisi dengan mitra tutur yang ditandai dengan kata “yoroshii” pada penggalan tuturan (8.1) “yoroshii deshouka?”. Kata “yoroshii” merupakan bentuk sopan dari kata sifat “ii”. Kata sifat “ii” jika di gunakan untuk pertanyaan memiliki fungsi untuk permintaan izin. Dalam tuturan tersebut terdapat faktor sosial yaitu kekuasaan antara penutur dan mitra tutur yang ditentukan oleh status formal yaitu antara sensei dan mahasiswa.

Ditemukan pula data berupa satu konteks yang di dalamnya terdapat lima strategi kesantunan.

Konteks 2

Mhs 1 (1.1) : “Sensei , ano moshiwake arimasen ga, ano..ronbun no tame.. sankoubon ga sagashitain desukedo, ano toshokan de mou sagashimasu na no de arimasen desuga, dakara Sensei ni onegai ga arimasu ga, ano sono sankoubon wo kashite itadakenai deshouka?”

‘Sensei, em maaf mengganggu.. em.. untuk keperluan makalah.. saya ingin mencari buku referensi tetapi di perpustakaan tidak saya temukan..oleh karena itu saya meminta tolong kepada sensei, em bolehkan buku tersebut dipinjamkan kepada saya?’

Konteks 2: Mhs 1 ingin meminjam buku referensi yang dibutuhkan. Sebelum mengungkapkan permintaanya, Mhs 1 menceritakan permasalahannya dalam mencari buku referensi tersebut. Mhs 1 mendapat tugas dari Sensei untuk membuat makalah, ia sudah mencari buku referensi di perpustakaan namun tidak ada, lalu Mhs 1 memutuskan untuk meminjam buku referensi Sensei. Situasi yang terjadi adalah bersifat formal karena percakapan terjadi di ruang dosen status sosial yang berbeda yaitu Sensei dan Mahasiswa. Mhs 1 menggunakan bahasa ragam honorifik bahasa Jepang yang digunakan pada situasi formal dengan menggunakan predikat kata kerja bentuk “-masu”. Penggunaan tersebut memperlihatkan adanya distance (jarak) agar tidak terjadi hubungan terlalu familiar (over-familiarity). Dalam tuturan tersebut terdapat pengaruh faktor sosial yaitu kekuasaan antara penutur dan mitra tutur yang ditentukan oleh status formal yaitu antara Sensei dan Mahasiswa. Penggunaan tersebut memperlihatkan adanya distance (jarak) agar tidak terjadi hubungan terlalu familiar (over-familiarity).

Mhs 1 menggunakan tuturan direktif melalui permintaanya kepada Sensei untuk meminjaminya buku referensi. Mhs 1 menggunakan strategi kesantunan negatif sub strategi 5 yaitu perbedaan posisi dengan mitra tutur yang ditunjukkan dengan penggunaan kata kashite itadakenai deshouka. Bentuk “itadakenai deshouka” merupakan bentuk kenjougo dari “-te moraemasenka” digunakan untuk meminta pertolongan kepada lawan bicara yang kita hormati. Peserta tutur memiliki jarak sosial yaitu sensei dengan mahasiswa sehingga Mhs 1 menggunakan kata kashite itadakenai deshouka sebagai bentuk rasa hormat kepada Sensei.

Penggunaan bentuk kenjougo (humble), menandakan bahwa penutur memposisikan dirinya lebih rendah dari pada mira tuturnya. Mhs 1 tahu bahwa permintaanya untuk meminjam buku referensi akan mengancam muka negatif Sensei. Permintaan tersebut akan membebani Sensei dan mengganggu kebebasanya sehingga permintaan Mhs 1 bisa tidak akan dikabulkan oleh Sensei. Mhs 1 menggunakan tuturan direktif permintaan melalui permintaanya kepada Sensei untuk meminjaminya buku referensi yang ia butuhkan yang ditandai dengan kata “kashite itadakenai deshouka” yang tersusun atas morfem-morfem: “kashi-“ (berarti ‘pinjam’), “-te-(bentuk sambung ‘-te’), pola kalimat “itadakenai deshouka” biasa digunakan apabila ingin meminta bantuan kepada seseorang. Mhs 1 menggunakan strategi kesantunan negatif sub strategi 1 yaitu permintaan tak langsung konvensional yaitu penutur mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung kepada mitra tutur dikarenakan sesuatu yang akan disampaikan penutur dikhawatirkan menyinggung perasaan mitra tuturnya atau isi tuturan tersebut berupa sebuah permintaan yang mungkin akan memberatkan mitra tutur. yang ditunjukkan dengan kata “kashite itadakenai deshouka?”.

Sebelum mengungkapkan permintaanya meminjam buku referensi, Mhs 1 menggunakan strategi kesantunan negatif sub strategi 6 yaitu permintaan maaf ditandai dengan kata “moshiwake arimasen”. Mhs 1 menyatakan keengganannya melalui permintaan maaf untuk mereduksi tindak pengancam muka pada Sensei yang ditandai dengan fitur leksikal permintaan maaf bahasa Jepang “moshi wake arimasen”. Ketika Mhs 1 menemui Sensei di ruang dosen, Mhs 1 mengganggu aktifitas Sensei sehingga penggunaan kata “moshi wake arimasen” oleh Mhs 1 untuk menjaga muka negatif Sensei. Mhs 1 menjaga stasus sosialnya dengan Sensei dan tidak ingin mengganggu wilayah Sensei. Kata moshi wake arimasen tersebut juga termasuk strategi kesantunan negatif sub strategi 5 yaitu perbedaan posisi dengan mitra tutur. Penutur menggunakan bentuk “moshi wake arimasen” merupakan bentuk kenjougo dari “sumimasen” digunakan untuk meminta maaf kepada lawan bicara yang kita hormati. Peserta tutur memiliki jarak sosial yaitu Sensei dengan mahasiswa sehingga Mhs 1 menggunakan kata moshi wake arimasen sebagai bentuk rasa hormat kepada Sensei.

Strategi ketiga yang digunakan oleh penutur yaitu dengan menggunakan strategi kesantunan negatif sub strategi 2 yaitu memberikan pertanyaan atau batasan kepada mitra tutur dengan penggunaan bentuk-bentuk pertanyaan berpatikel “-desuga” pada tuturan (1.1). Mhs 1 menggunakan “-desuga” sehingga memberikan kesan tidak memaksakan kehendak kepada Sensei, sehingga Sensei memiliki kesempatan untuk menolak atau mengabulkan keinginan Mhs 1 sehingga Sensei merasa tidak terbebani dan dapat menolaknya karena muka negatifnya tidak terancam. Namun sebenarnya Mhs 1 berharap bahwa Sensei mengabulkan permintaanya sehingga mengajukan pertanyaan atau pembatasan seperti pemberian asumsi.

Sebelum mengungkapkan permintaan, Mhs 1 menggunakan “ano” ‘em’ sebagai bentuk meminta perhatian, dilanjutkan dengan permintaan maaf yang ditandai dengan menggunakan bentuk permintaaan maaf bahasa Jepang “moshiwake arimasen”, pra permintaan Mhs 1 terdapat pada penggalan tuturan “.. sankoubon ga sagashitain desukedo, ano toshokan de mou sagashimasu na no de arimasen desuga dakara Sensei ni onegai ga arimasu ga,….” dengan menceritakan permasalahanya kepada Sensei. Permintaan atau request Mhs 1 ditandai pada penggalan tuturan “ano sono sankoubon wo kashite itadakenai deshouka?” yaitu ketika Mhs 1 meminta Sensei untuk meminjamkan buku referensi.

 Simpulan

Dari seluruh tuturan Mahasiswa Sastra Jepang UDINUS tahun ke 3 angkatan 2012, peneliti menemukan 37 tindak tutur direktif. Dalam satu konteks percakapan terdapat satu bahkan sampai lima strategi yang digunakan mahasiswa untuk mengatasi keterancaman muka (strategi kesantunan). Peneliti mengklasifikasikan lima kategori berdsarkan pada jumlah strategi kesantunan yang muncul dalam setiap konteks percakapan, yaitu satu strategi kesantunan, dua strategi kesantunan, tiga strategi kesantunan, empat strategi kesantunan, dan lima strategi kesantunan.

Strategi kesantunan yang diterapkan oleh penutur pada sebagian besar data yakni strategi kesantunan yang menggunakan kesantunan negatif. Mahasiswa sering menggunakan kesantunan negatif agar tidak mengancam muka negatif mitra tutur atau Sensei sehingga Sensei dapat mengabulkan permintaan Mahasiswa tersebut. Strategi kesantunan negatif juga digunakan untuk menghormati mitra tutur dimana faktor sosial yang terdapat pada konteks adalah status formal antara Sensei dan Mahasiswanya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Aryanto, Bayu. 2011. Mitigasi Keterancaman Muka Tindak Tutur Direktif Bahasa Jepang dalam Novel Kicchin. Tesis Universitas Diponegoro

Austin, J.L. 1962. How to do Thing with Word. New York: Oxford University Press

Brown, F dan Levinson, S. 1987. Politeness, Some Universals of Language Usage . London Cambridge University Press

Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta

Dunkley, Daniel. 1994. Directives in Japanese and English. The journal of Aichi Gakuin University. Humanity & Sciences

Gunarwan, Asim. 1992. Persepsi Kesantunan Direktif di dalam Bahasa Indonesia di antara beberapa kelompok etnik di Jakarta. In B. Kaswati Purwo (ed.). PELLBA. Jakarta Atmajaya Catholic University.

Gunarwan, Asim. 2007. Pragmatik Teori dan Kajian Nusantara. Jakarta: Universitas Atma Jaya

Hoshino, Yuko. 2005. Nihongo Soodan Bamen ni Okeru Pojitibu Poraitonesu. Nihon Bunkarongyoo. Tokyo: Ochanomizu Univeristy.

Leech, Geoffrey N. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman

Oddie, Mayumi Fukuda. 2007. Non-Verbal and Verbal Behaviour of Beginner Learners of Japanese: Pragmatic Failure and Native Speaker Evaluation. Thesis. Departement of Japanese and Korean Studies The University of New South Wales.

Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: CV IK IP Semarang Press

Rahardi, K. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga

Rohmadi, Muhammad. 2004. Pragmatik: Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar Media.

Sachiko, Ide. 1982. Japanese Sociolinguistics Politeness And Women’s Language. Lingua 57. 357-385. North Holand Publishing Company.

Vanderkeven, Daniel. 1990. Principles of Language Use. Cambridge: Cambridge University Press

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press

Searle. 1969. Speech Acts: An Essay in the Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press

Takiura, M. 2005. Nihongo no Keigo-Ron, Politeness Riron kara no Sai-kentou (Theories of Japanese honorifics: Re-examination in terms of politeness theory). Tokyo, Japan: Taishukan.

Ulfah, Elisa. 2005. Analisis Owabi Hyougen Pada Skenario Film Oshin. Semarang: Universitas Dian Nuswantoro

 

Telah dimuat dalam Jurnal Nihongo, halaman 62-74,  vol 8 No 1, Maret 2016

Asosiasi Studi Pendidikan Bahasa Jepang Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *