AKTIVITAS LUAR KELAS MATA KULIAH INTERPRETING MAHASISWA PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO

AKTIVITAS LUAR KELAS MATA KULIAH INTERPRETING MAHASISWA  PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO *)

Bayu Aryanto

Abstract

Pengajaran bahasa asing di tingkat lanjut tidak selalu terfokus pada empat bidang kemampuan berbahasa (membaca, menulis, berbicara, mendengar). Sebaiknya ada sebuah muara dari keempat bidang keterampilan tersebut. Sebuah mata kuliah yang dapat memberikan pengenalan aktivitas dunia kerja. Program Studi Sastra Jepang Universitas Dian Nuswantoro mencoba untuk mengimplementasikan aktivitas dunia kerja ke dalam mata kuliah Interpreting. Wujudnya adalah berupa aktivitas di luar kelas. Tujuan kegiatan tersebut adalah untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar secara langsung aktivitas interpreting yang di dalamnya tidak hanya menguji empat kemampuan berbahasa, tetapi juga kemampuan teknis dalam aktivitas interpreting. Latihan dan simulasi yang dilakukan di kelas diharapkan dapat menjadi modal pengetahuan dasar tentang konsep-konsep dan teknik interpreting (penerjemahan lisan). Mahasiswa dituntut oleh lebih aktif bertindak cepat dan tepat dalam mengambil tindakan terkait kondisi di lapangan saat proses interpreting berlangsung. Aktivitas di luar kampus tersebut tidak hanya menuntut mahasiswa siap secara fisik dan psikis, tetapi juga kesiapan dosen pengampu yang harus berkoordinasi dengan pihak eksternal.

Kata kunci: terjemahan lisan konsekutif, aktivitas luar kelas, klien, nara sumber, interpreter

Pendahuluan

Alihbahasawan lisan atau interpreter sangat diperlukan oleh peserta komunikasi yang memiliki perbedaan bahasa. Aktifitas interpreter atau yang disebut sebagai interpreting, merupakan sebuah bentuk keterampilan berbahasa, baik bahasa ibu maupun bahasa target. Penguasaan keterampilan berbahasa tersebut (baik bahasa ibu, maupun bahasa target) merupakan syarat mutlak agar proses komunikasi antarkomunikan yang berlatar belakang bahasa dan budaya berbeda. Seiring dengan semakin banyaknya peluang kerja di bidang penerjemahan lisan,Universitas Dian Nuswantoro berusaha mengenalkan kepada mahasiswa tentang dunia interpreting secara teoretis dan praktis.

Salah satu tujuan pembelajaran bahasa Jepang di Universitas Dian Nuswantoro adalah menjadikan mahasiswa memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar dalam bidang penerjemahan baik lisan maupun tulisan. Mata kuliah yang terkait penerjemahan di Program Studi Sastra Jepang Universitas Dian Nuswantoro sebanyak 10 sks yang terbagi dalam empat mata kuliah, yaitu Translation Theory (2 sks), Japanese-Indonesia Translation (2 sks), Indonesia-Japanese Transalation (2 sks), dan Interpreting (4 sks).

Mata kuliah Interpreting merupakan salah satu mata kuliah yang ditempatkan pada semester 7 sebagai muara mata kuliah-mata kuliah keterampilan berbahasa Jepang. Aktivitasnya pun didominasi dengan kegiatan praktik langsung di luar kelas. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar mahasiswa memiliki pengalaman dasar tentang aktivitas penerjemahan lisan. Aktivitas di luar kelas tersebut sebagian besar dilakukan di tempat-tempat industri lokal.  Dalam aktivitas tersebut, terlibat beberapa tiga pihak yaitu mahasiswa (berperan sebagai interpreter), penutur asli orang Jepang (berperan sebagai klien), dan nara sumber (instansi pemerintah, pengusaha, aktivis seni budaya, dll).

Jenis-jenis penerjemahan lisan       

Jenis-jenis penerjemahan lisan dapat dibagi di antaranya berdasarkan tempat (setting) terjadinya aktivitas penerjemahan, dan cara penyampainnya.  Berdasarkan tempat terjadinya, penerjemahan lisan dibagi menjadi dua yaitu pengalihbahasaan dalam konferensi (conference Interpreting), dan pengalihbahasaan dalam masyarakat (community interpreting) (Gentile et al 1996:17).

  1. Pengalihbahasaan dalam konferensi (conference Interpreting)

Conference interpreting merujuk pada kegiatan penerjemahan lisan yang berlangsung di suatu konferensi, sehingga biasanya arah pengalihbahsaannya hanya satu arah (dari bahasa 1 ke bahasa 2 dan tidak sebaliknya). Gentile et al (1996) dalam Kalamistics (Havid Ardi, 2009:44) memberikan gambaran teknis situasi proses penerjemahan lisan dengan seting konferensi. Tiap-tiap interpreter duduk terpisah (dalam sebuah booth) yang dapat melihat kliennya (peserta konferensi). Tiap booth biasanya terdiri dari dua orang penerjemah. Satu orang penerjemah berperan sebagai penerjemah aktif, dan satu orang lagi berperan sebagi penerjemah pasif yang bertugas asisten yang sewaktu-waktu harus siap memberi informasi jika ada bagian yang tertinggal.

  1. Pengalihbahasaan dalam seting masyarakat (Community Interpreting)

Penerjemahan ini terjadi di ranah pelayanan publik. Interpreter berperan sebagai fasilitator komunikasi antara petugas dan masyarakat awam, misalnya di rumah sakit, kantor polisi, sekolah dan institusi yang sejenis. Arah penerjemahan lebih cenderung bersifat dua arah (dari bahasa 1 ke bahasa 2 dan sebaliknya).

Berdasarkan cara penyampaiannya dikelompokkan menjadi dua, yaitu penerjemahan konsekutif, dan penerjemahan simultan (Kreser dan Weber dalam Nababan, 2003:115).

  1. Penerjemahan Konsekutif

Interpreter mulai mengalihbahasakan sebuah tuturan apabila kliennya (penutur) selesai berbicara. Dengan cara ini, interpreter memiliki kesempatan untuk membuat catatan sebelum mengalihbahasakan ke bahasa target.

  1. Penejemahan Simultan

Interpreter mengalihbahasakan ke bahasa sasaran tanpa harus menunggu penutur selesai berbicara. Dengan cara ini, interpreter tidak memiliki waktu untuk membuat catatan, sehingga kemampuan bilingualnya harus sama baiknya antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Cara penerjemahan ini digunakan dalam setting konferensi. Pada umumnya secara teknis penerjemah berada di ruang khusus (booth) yang bersembunyi di balik kaca hitam terpisah dengan peserta konferensi. Biasanya dalam penerjemahan lisan simultan peserta memakai head set atau alat dengan yang ditempel di telinganya.

Praktik penerjemahan lisan yang dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Sastra Jepang Universitas Dian Nuswantoro termasuk ke dalam community interpreting, karena aktivitasnya dilakukan di lingkup masyarakat, baik masyarakat di bidang bisnis, pelayanan masyarakat, ruang publik, dan institusi yang sejenis. Sedangkan cara penerjemahannya termasuk ke dalam penerjemahan konsekutif, karena mahasiswa yang berperan atau bertugas sebagai interpreter yang berbicara setelah partsipan interpreting (klien dan nara sumber) selesai berbicara.

Aktivitas di luar kelas untuk mata kuliah Interpreting ini dilakukan kurang lebih sebanyak 4-6 kali selama satu semester. Namun sebelum aktivitas di luar kelas dilakukan, ada beberapa persiapan yang dilakukan di kelas, di antaranya latihan membuat catatan, membuat parafrase, melatih daya ingat, simulasi-simulasi interpreting, dll.

Teknik Penerjemahan Lisan

Penerjemah lisan bertanggung jawab penuh atas tersampaikannya pesan penutur kepada pendengar. Dengan demikian, penerjemah lisan harus mampu menangkap ide wacana yang disampaikan oleh pembicara dan kemudian mengalihbahasakannya ke dalam bahasa sasaran dengan ide wacana yang sama pula, dan tentunya bisa dimengerti oleh pendengar. Analisis kilat terhadap bentuk maupun isi pesan sumber wajib bisa dilakukan oleh penerjemah lisan, beberapa teknik penerjemah yang bisa diaplikasikan oleh penerjemah lisan sebagai berikut :

  1. Reduksi (Reduction)

Interpreter hanya mengambil poin penting dari keseluruhan ujaran yang disampaikan penutur. Hal ini dilakukan interpreter karena adanya sebuah situasi dimana penutur mengutarakan tuturan yang sangat cepat dan panjang. Dengan kondisi seperti itu, interpreter dituntut untuk dapat mencatat dan menyampaikan poin pentingnya saja dari sebuah tuturan.

  1. Penambahan (Addition)

Penambahan dilakukan oleh penerjemah dengan tujuan untuk memperjelas makna yang secara ellipsis disampaikan oleh tuturan sumber. Newmark (1998:91) mengatakan bahwa umumnya penambahan diterapkan pada hal – hal yang berkaitan dengan budaya, istilah dan linguistik guna mencapai syarat keberterimaan dalam bahasa sasaran. Selain hal itu, Nida (1964) menambahkan bahwa teknik penambahan ini juga digunakan untuk menyesuaikan bentuk pesan sumber dengan pesan sasaran, menampilkan struktur semantik yang sepadan, dan menghasilkan efek komunikatif yang sama.

  1. Transposisi (Transposition)

Transposisi  merupakan bagian dari pergeseran yang dilakukan dalam penerjemahan karena adanya perbedaan unsur –  unsur gramatikal antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran. Sebagai contoh, pergeseran kelas kata dari verba menjadi nomina atau sebaliknya.

  1. Modulasi (Modulation)

Modulasi merupakan pergeseran sudut pandang. Vinay & Darbelnet (dalam Newark, 1988:88) menyebutkan bahwa modulasi dapat berupa perubahan dari kalimat aktif menjadi pasif atau sebaliknya, negatif menjadi positif, tersirat menjadi tersurat dan sebagainya.

  1. Terjemahan Harfiah (Literal Translation)

Suryawinata (2003:40) secara umum memberikan pengertian teknik penerjemahan ini sebagai “terjemahan yang mengutamakan padanan kata atau ekspresi di dalam bahasa sasaran yang mempunyai rujukan atau makna yang sama dengan rujukan atau ekspresi dalam bahasa sumber.”

  1. Adaptasi (Adaptation)

Adaptasi merupakan teknik penerjemah yang paling bebas dan paling dekat bahasa sasaran. Penerjemah mengubah konteks budaya bahasa sumber ke dalam budaya bahasa sasaran.

  1. Pungutan (Borrowing)

Pungutan merupakan pemakaian kata secara langsung dari bahasa sumber, yang disebut sebagai ‘Pure Borrowing’. Suryawinata (2007:70) mendefinisikan teknik ini sebagai strategi penerjemahan yang membawa kata dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Dengan kata lain, kata dalam bahasa sumber oleh penerjemah dipungut untuk dipakai dalam bahasa sasaran tanpa melalui proses pengalihan pesan.

Manfaat dan Tujuan

Ada beberapa manfaat yang didapat oleh mahasiswa dalam penerjemahan lisan konsekutif Pam Sherwood-Gabrielson, et al. dalam Consecutive Interpreting:An Instructor’s Manual (2008:17), menjelaskan bahwa  In Consecutive Interpreting the student will:

  1. Increase the fluency and accuracy of their consecutive interpreting and sight translation skills.
  2. Apply the code of ethics and a decision-making model to interpreting situations.
  3. Improve specific interpreting skills such as prediction, chunking, memory skills, and note taking.
  4. Assess interpreting work in terms of identifying errors, analyzing the interpreting process and noticing error patterns in his/her interpreting work.
  5. Become familiar with professional standards of practice and apply them to assess his/her interpreting work.
  6. Practice and improve process management skills and professional communication skills.
  7. Become familiar with various interpreting settings, including the protocol and vocabulary, common to community interpreting work.
  8. Be introduced to the concept of simultaneous interpreting and the skills involved.

Tujuan aktivitas di luar kelas ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa mendapatkan pengalaman secara langsung aktivitas interpreting. Praktik yang dilakukan di kelas dirasa kurang karena situasi dan kondisi di kelas akan berbeda ketika aktivitas interpreting berlangsung di lapangan. Kesempatan untuk melihat dan berinteraksi langsung dengan tempat kerja dan orang-orangnya, melakukan negosiasi, melatih gaya berkomunikasi, dan berbagai hal yang terkait dengan aktivitas interpreting di dunia kerja akan dialami oleh mahasiswa.

Latihan Kelas

Sebelum aktivitas luar kelas dilaksanakan, ada beberapa hal yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa. Kegiatan kelas ini bertujuan untuk melatih dan mengkodisikan mahasiswa terhadap aktivitas interpreting, serta memberikan pengetahuan kepada mahasiswa mengenai peran interpreter di dalam lokasi praktik atau tempat kerja kelak. Latihan aktivitas interpreting diberikan di kelas dengan cara dosen membuat sebuah situasi tematik interpreting (bamen renshuu).

Latihan di kelas berupa simulasi interpreting antara klien, nara sumber, dan mahasiswa yang berperan sebagai interpreter. Pada saat latihan, peran klien diperankan oleh penutur asli Jepang atau orang Indonesia (begitu pula dengan  nara sumbernya, dapat dilakukan oleh orang Jepang atau orang Indonesia). Contohnya, saat tema yang diberikan mengenai sistem pendidikan di Jepang, maka orang Jepang akan berperan sebagai nara sumbernya, sedangankan kliennya adalah orang Indonesia (yang tidak dapat berbahasa Jepang).

Latihan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang proses interpreting di tempat kerja. Misalnya, bagaimana posisi interpreter terhadap klien dan nara sumbernya, bagaimana cara membuat catatan cepat dan efisien, kekuatan suara, dll. Selain itu juga membiasakan mahasiswa dalam berinteraksi dengan dua pihak (klien dan nara sumber), terutama dalam hal negosiasi jalannya proses interpreting, etika seorang interpreter, dll.

Latihan di kelas dilakukan beberapa kali dengan tujuan yang berbeda. Misalnya, pada latihan pertama difokuskan bagaimana mahasiswa membuat parafrase tuturan dari klien dan nara sumber.. Catatan bisa berupa bersifat kebahasaan atau non-kebahasaan, misalnya gambar, grafik, tabel, dll. Latihan kedua difokuskan pada hal bagaimana mahasiswa membuat catatan secara ringkas, cepat, dan tepat. Berdasarkan pengalaman, kedua aktivitas tersebut terlihat bahwa mahasiswa kurang terbiasa dalam membuat catatan secara cepat, ringkas, dan tepat. Mahasiswa sering terlalu mengandalkan daya ingat mereka. Padahal ketika klien atau nara sumber berbicara secara panjang lebar, tidak semua informasinya dapat diserap, sehingga pada saat menerjemahkan sering ditemui reduksi informasi, dan bahkan kesalahan penafsiran.

Langkah pertama adalah dosen memberikan tema yang akan menjadi topik pembicaraan saat latihan interpreting kepada mahasiswa. Pemberian tema tersebut bertujuan agar mahasiswa mencari prediksi kosakata atau ungkapan atau istilah-istilah yang akan digunakan oleh klien atau nara sumber pada saat kegiatan interpreting berlangsung. Selain itu, mahasiswa juga diminta untuk membuat prediksi-prediksi pertanyaan yang kemungkinan ditanyakan oleh klien, serta prediksi-prediksi jawaban dari nara sumber. Kegiatan memprediksi tersebut juga didukung dengan referensi-referensi dari berbagai sumber yang berkaitan dengan tema interpreting. Sebagai contoh, dosen memberikan tema tentang kerajinan perak di sebuah industri kerajinan wayang kulit. Tugas mahasiswa adalah mencari kosakata yang berkaitan dengan kerajinan wayang kulit, di antaranya.

Tabel 1. Daftar prediksi kosakata

kulit Kulit kerbau Tenaga kerja
Produksi Kulit kambing Koperasi
Penjualan Pengeringan Omset
Motif Pewarnaan Kualitas
Pemasaran Pemahatan Pameran
Kendala pemasaran Tatah Galeri
Bahan mentah Bahan kimia Desain

Langkah kedua adalah mahasiswa mencoba membuat prediksi pertanyaan klien dalam bahasa Indonesia, dan kemudian menerjemahkannya. Contoh:

  1. Sejak kapan usaha kerajinan wayang kulit?
  2. Berapa lama proses pembuatannya?
  3. Berapa orang karyawannya?
  4. Dari mana mendapatkan bahan bakunya?

            Langkah ketiga mahasiswa diminta untuk membuat prediksi situasi di lapangan. Hal ini dilakukan karena: 1) ada aturan-aturan dari pihak nara sumber sebagai tempat kerja yang harus dipatuhi oleh mahasiswa, misalnya penggunaan pakaian resmi atau kasual, faktor keamanan kerja, etika di tempat kerja, dll; 2) agar mahasiswa mendapat prediksi gambaran apakah aktivitasnya berupa kunjungan ke pabrik, forum dialog, atau berupa workshop.

            Kesiapan secara fisik dan psikis mahasiswa pada saat pelaksanaan aktivitas di luar kelas perlu menjadi perhatian dosen pengampu. Interpreter berperan sebagai jembatan komunikasi antara satu  pihak yang ingin berkomunikasi, menyampaikan ide dan gagasan kepada pihak lain. Oleh sebab itu, seorang interpreter harus mampu menampung ide dan gagasan kedua pihak, sekaligus menyampaikannya kembali ke pihak lain dalam bahasa yang lain. Di sinilah betapa pentingnya kesiapan secara fisik dan psikis seorang interpreter.

Bagan berikut tampak bahwa interpreter melakukan beberapa kegiatan secara simultan dan berkelanjutan.

Bagan 1. Analogi komunikasi interpreting

            Dari bagan 1 terlihat tanda panah putus yang melambangkan komunikasi antara klien dan nara sumber. Namun karena perbedann bahasa ibu kedua pihak, dibutuhkan seorang interpreter yang berperan sebagai perantara komunikasi. Ada dua tanda panah yang menuju ke arah interpreter baik dari pihak klien atau nara sumber. Tanda tersebut merupakan dua buah input ide dan gagasan dari dua pihak yang berbeda, sedangkan dua panah yang berasal dari interpreter merupakan output ide dan gagasan dari sumber komunikan yang harus disampaikan kepada komunikan target.

Aktivitas Interpreting Luar Kelas

Setelah dirasa cukup berlatih atau simulasi di kelas, maka pengampu mempersiapkan aktivitas di luar kelas. Pengampu berkoordinasi dengan nara sumber dan merundingkan kesiapan teknisnya. Pada tahap ini, pengampu harus memberikan pengertian terlebih dahulu kepada nara sumber mengenai maksud kunjungan mahasiswa yang akan melakukan praktik interpreting. Di sisi lain, pengampu juga harus memberikan gambaran mengenai situasi yang akan dihadapi oleh klien yang diperankan oleh penutur asli Jepang. Ada baiknya klien (orang Jepang) bersama dengan dosen pengampu mendatangi lokasi sebelum pelaksanaan. Hal tersebut dilakukan agar penutur asli Jepang tersebut dapat membuat rencana pertanyaan yang akan diajukan kepada nara sumber.

Beberapa persiapan teknis di antaranya pengampu harus menyiapkan alat rekam audio dan audio visual. Hasil rekaman tersebut kelak akan dibuat sebagai bahan evaluasi bagi mahasiswa yang bersangkutan, serta menjadi bahan pertimbangan pengampu dalam hal penilaian.

Jumlah mahasiswa peserta mata kuliah interpreting biasanya sekitar 20 orang. Pada saat pelaksanaan aktivitas di luar kelas, mahasiswa dibagi menjadi 3 atau 4 kelompok kecil berdasarkan pembagian kelompok di kelas sebelum pelaksanaan. Tiap-tiap kelompok terdiri 5-7 orang dan akan menjadi interpreter secara bergantian. Tiap kelompok akan diberikan tema atau lokasi yang berbeda. Mahasiswa akan diberi kesempatan 20-30 menit untuk berperan sebagai interpreter. Mereka secara bergantian dan berkelanjutan menerjemahkan komunikasi antara klien dan nara sumber.

Pada saat interaksi berjalan, mahasiswa diberi alat perekam suara, dan ada dua mahasiswa yang lain bertugas mendokumentasikan secara audio-visual. Semua dokumentasi tersebut akan digunakan sebagai evaluasi kegiatan interpreting tersebut.

Ada kalanya sebelum beraktivitas di luar kelas, diadakan diskusi kelas terlebih dahulu. Dalam diskusi tersebut dibahas tentang tempat praktikum yang akan dikunjungi, persiapan-persiapan teknis yang harus disiapkan saat praktikum, mahasiswa berdiskusi dengan klien (penutur asli orang Jepang) tentang tema dan hal-hal yang kemungkinan akan ditanyakan kepada nara sumber, dan bahkan kosakata yang akan digunakan pada saat praktik pun disiapkan saat aktivitas kelas tersebut. Kemudian mahasiswa akan diminta membuat simulasi-simulasi kegiatan yang mungkin akan mereka alami di tempat penerjemahan. Dengan kata lain, semua aktivitas di kelas tersebut merupakan sebuah persiapan yang harus dilakukan oleh mahasiswa yang akan berperan sebagai interpreter di tempat praktik. Kegiatan tersebut pada dasarnya dapat dianalogikan sebagai persiapan seorang interpreter dalam dunia kerja.

Kendala di lapangan

  1. Situasi tak terduga (unpredictable situations). Sering kali apa yang telah disepakati antara dosen pengampu dan nara sumber di lapangan berubah karena situasi dan kondisi pada saat pelaksanaan. Sebagai contoh, pada saat proses koordinasi, disepakati bentuk interpretingnya adalah kunjungan pabrik, tetapi pada saat pelaksanaan, nara sumber berinisiatif agar klien (orang Jepang) dan mahasiswa juga diminta ikut dalam workshop. Sebagai contoh pada saat interpreting di pabrik pembuatan makanan, ternyata pihak nara sumber telah menyiapkan timnya untuk mempersilakan klien (orang Jepang) untuk berpartisipasi dalam pelatihan pembuatan makanan tersebut, sehingga penerjemah (mahasiswa) bertugas untuk menerjemahkan aktivitas tersebut. Dalam aktivitas lainnya, ternyata pihak nara sumber mengubah menjadi dialog dua arah, sehingga terjadi komunikasi antarpeserta interpreting (klien-nara sumber)  secara aktif.
  2. Nara sumber terkadang ‘lupa’ bahwa tujuan dari aktivitas tersebut adalah ajang latihan mahasiswa sebagi interpreter. Dalam koordinasi dengan dosen pembimbing, nara sumber diharapkan dapat kooperatif, yaitu dengan cara memahami kondisi para mahasiswa. Tetapi terkadang di tengah proses berjalannya aktivitas, nara sumber tampaknya lupa sehingga terkadang lupa, sehingga sering menggunakan kalimat yang sangat panjang.

Proses Evaluasi

            Evaluasi dilakukan oleh tiga pihak yaitu, dosen pengampu, penutur asli bahasa Jepang yang terlibat dalam kegiatan interpreting, dan mahasiswa. Langkah pertama, dosen pengampu meminta mahasiswa untuk membuat skrip percakapan mereka pada saat interpreting. Mahasiswa juga diminta untuk membuat self evaluation (自己評価), dengan cara membuat komentar-komentar tentang proses interpreting tersebut berdasar dokumen berupa rekaman audio dan audio-visual. Komentar tersebut berupa analisis sederhana tentang kesalahan-kesalahan penerjemahan, kesalahan teknis (suara yang terlalu pelan, gerak tubuh), strategi yang digunakan saat proses penerjemahan, dll. Dosen pengampu dan penutur asli bahasa Jepang juga akan melakukan hal yang sama, dan kemudian bersama-sama didiskusikan di dalam kelas.

Pengamatan Pengampu

Berikut adalah hasil pengamatan dosen pengampu  mengenai aktivitas interpreting di luar kelas:

  1. Meskipun telah beberapa kali berlatih di kelas, dan bahkan melakukan simulasi interpreting di kelas, sering kali berbeda pada saat di lapangan. Rasa gugup dan cemas tetap terasa saat pelaksanaannya.
  2. Penggunaan kosakata spesifik (専門用語) yang tidak terdapat di kamus standar. Biasanya di atasi dengan penjelasan verbal atau dengan media gambar, atau gesture. Tetapi, terkadang tidak bisa diterjemahkan dengan baik.
  3. Tidak hanya kesiapan teknis, kesiapan mental dan fisik pun harus disiapkan. Kelelahan secara mental dan fisik tidak dapat dipungkiri karena interpreter harus beraktivitas dua kali lipat dibanding klien dan nara sumbernya. Interpreter harus dapat menjadi media komunikasi dari klien ke nara sumber, dan sebaliknya.
  4. Mahasiswa perlu berlatih mandiri dalam hal membuat sebuah parafrase dari sebuah informasi agar sesuatu yang ingin disampaikan oleh penutur (klien dan nara sumber) dan tersampaikan dengan baik.

Simpulan dan Saran

Meskipun persiapan telah dilakukan, baik secara teknis maupun non-teknis, beberapa mahasiswa masih terlihat gugup, dan masih kesulitan dalam menangkap pesan penutur, penyampaian informasi ke pihak lain. Penguasaan keterampilan berbahasa Jepang dan bahasa Indonesia juga masih harus ditiingkatkan lagi.

Pembelajaran tentang interpreting di institusi akademik masih sangat jauh dari harapan apabila ditargetkan dapat menghasilkan interpreter handal. Namun demikian, tujuan dari pembelajaran interpreting adalah mengenalkan strategi interpreting, kode etik, mengenalkan dunia kerja lapangan, dan memberikan pengalaman secara langsung aktivitas berkomunikasi dengan berbekal kemampuan dan keterampilan berbahasa ibu dan bahasa asing.

Aktivitas di luar kampus yang dilakukan di Program Studi Sastra Jepang Universitas Dian Nuswantoro masih perlu ditingkatkan secara kuantitas dan kualitas. Tidak hanya sebatas pada mata kuliah interpreting, tetapi juga pada mata kuliah yang bersifat keterampilan berbahasa lainnya.

Daftar Pustaka

Ardi, Havid. 2009. Kategori Penerjemahan Lisan Suatu Tinjauan Ulang (dalam jurnal Kalamistics, vol 1 no 1).

Ayu, Dyah. 2008. Kajian Penerjemahan Lisan Konsekutif Dalam Kebaktian Kebangunan Rohani Bertajuk “Miracle Crusade – This is Your Day”. Persyaratan Mencapai Gelar Magister Program Studi Linguistik UNS. Solo: tidak diterbitkan

Gabrielson-Pam Sherwood. 2008. Consecutive Interpreting: An Instructor’s Manual. University of Minnesota

Hsieh, Elaine.2003. The Importance of Liaison Interpreting in the Theoretical Development of Translation Studies (dalam Stuidies  of Translation and Interpretation, vol 8: 283-322)

Jones, R. 1998. Conference Interpreting Explained. Manchester: St. Jerome Publishing

Nababan, M.R. 2003. Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nida, E and Taber, C. 1982. The Teory and Practice of Translation. Leide: EJ. Bill

Nolan, Janes. 2005. Interpretation: Technique and Exercises. Clevedon: Multilingual Matles LTD

Seleskovitch, D.1978. Interpreting for International Conferences: Problems of Language and Communication. Washington DC: Pen and Booth

Setiawan, Ajar. 2008. Analisis Teknik Penerjemahan Kata Budaya Bahasa Jepang ke dalam Bahasa Indonesia dalam Majalah Nipponia. Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Sastra FIB UDINUS. Semarang: tidak diterbitkan

Shuttleworth, M dan M. Cowie. 1997. Dictionary of Translation Studies. Manchester: St. Jerome Publishing.

*) pernah dipresentaikan dalam Seminar Nasional, ASPBJI (Asosiasi Studi Pengajar Bahasa Jepang Indonesia) Korwil Jawa Barat, Sabtu 18 April 2015, Universitas Widyatama, Bandung

Ada beberapa bagan yang tidak bisa ditampilkan dalam tulisan ini karena kendala teknis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *