SEJARAH FOTOGRAFI INDONESIA
Era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 di Indonesia telah membawa dampak yang besar bagi segala aspek di masyarakat. Masyarakat yang terkekang dalam kurun waktu hampir 30 tahun dibawah rezim Orde Baru mulai bebas ruang geraknya. Hal ini sangat terasa di bidang politik. Para penguasa tidak bisa seenaknya memanfaatkan kekuasaannya, karena sekarang masyarakat punya “kekuasaan” untuk menjatuhkan pemerintahan jika kebijakan dirasa merugikan. Dalam bidang fotografipun, terjadi perubahan yang cukup signifikan.
Perkembangan fotografi di Indonesia terasa sangat nyata karena media, yang menjadi naungan karya‐karya fotografi, juga terlepas dari kungkungan pemerintah. Selama jaman kekuasan Orde Baru, karya‐karya fotografi hanya sebatas untuk kepentingan komersial saja. Sekarang, para juru foto dapat mempertontonkan karya idealis mereka lewat pameran‐pameran.
Melalui pameran ini, para juru foto bebas menunjukkan idealisme mereka. Mereka yang selama ini terkungkung dengan sistem yang dikuasai oleh pemerintahan diktator, kini memiliki ruang gerak yang cukup luas untuk berkespresi. Foto jurnalistik Indonesia pun akhirnya menemukan jati diri sebenarnya sebagai foto yang mengungkapkan fakta.
Perkembangan fotografi Indonesia memang tidak mencakup bidang teknologi yang kemudian menimbulkan perubahan signifikan dalam bidang fotografi dunia. Di Indonesia fotografi lebih pada bagaimana penerapannya. Atau bisa dibilang fotografi di Indonesia lebih bersifat konsumtif.
Sejarah fotografi di Indonesia dimulai pada tahun 1857, pada saat 2 orang juru foto Woodbury dan Page membuka sebuah studio foto di Harmonie, Batavia. Masuknya fotografi ke Indonesia tepat 18 tahun setelah Daguerre mengumumkan hasil penelitiannya yang kemudian disebut‐sebut sebagai awal perkembangan fotografi komersil. Studio fotopun semakin ramai di Batavia. Dan kemudian banyak fotografer professional maupun amatir mendokumentasikan hiruk pikuk dan keragaman etnis di Batavia.
Gambar I.20 Kassian Cephas (1844‐1912)
Cephas lahir pada 15 Januari 1845 dari pasangan Kartodrono dan Minah. Ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah anak angkat dari orang Belanda yang bernama Frederik Bernard Fr. Schalk. Cephas banyak menghabiskan masa kanak‐kanaknya di rumah Christina Petronella Steven (siapa). Cephas mulai belajar menjadi fotografer profesional pada tahun 1860‐an. Ia sempat magang pada Isidore van Kinsbergen, fotografer yang bekerja di Jawa Tengah sekitar 1863‐1875. Tapi berita kematian Cephas di tahun 1912 menyebutkan bahwa ia belajar fotografi kepada seseorang yang bernama Simon Willem Camerik.
Kassian Cephas memang bukan tokoh nasional yang dulunya menenteng senjata atau berdiplomasi menentang penjajahan bersama politikus pada zaman sebelum dan sesudah kemerdekaan. Ia hanyalah seorang fotografer asal Yogyakarta yang eksis di ujung abad ke‐19, di mana dunia fotografi masih sangat asing dan tak tersentuh oleh penduduk pribumi kala itu. Nama Kassian Cephas mungkin baru disebut bila foto‐foto tentang Sultan Hamengku Buwono VII diangkat sebagai bahan perbincangan.Dulu, Cephas pernah menjadi fotografer khusus Keraton pada masa kekuasaan Sultan Hamengku Buwono VII. Karena kedekatannya dengan pihak Keraton, maka ia bisa memotret momen‐momen khusus yang hanya diadakan di Keraton pada waktu itu. Hasil karya foto‐fotonya itu ada yang dimuat di dalam buku karya Isaac Groneman (seorang dokter yang banyak membuat buku‐buku tentang kebudayaan Jawa) dan buku karangan Gerrit Knaap (sejarawan Belanda yang berjudul “Cephas, Yogyakarta: Photography in the Service of the Sultan”.
Dari foto‐fotonya tersebut, bisa dibilang bahwa Cephas telah memotret banyak hal tentang kehidupan di dalam Keraton, mulai dari foto Sultan Hamengku Buwono VII dan keluarganya, bangunan‐bangunan sekitar Keraton, upacara Garebeg di alun‐alun, iring‐iringan benda untuk keperluan upacara, tari‐tarian, hingga pemandangan Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Tidak itu saja, bahkan Cephas juga diketahui banyak memotret candi dan bangunan bersejarah lainnya, terutama yang ada di sekitar Yogyakarta.
Masa‐Masa Keemasan Cephas.
Cephas pernah terlibat dalam proyek pemotretan untuk penelitian monumen kuno peninggalan zaman Hindu‐Jawa, yaitu kompleks Candi Loro Jonggrang di Prambanan, yang dilakukan oleh Archeological Union di Yogyakarta pada tahun 1889‐1890. Saat bekerja, Cephas banyak dibantu oleh Sem, anak laki‐lakinya yang juga tertarik pada dunia fotografi. Cephas juga membantu memotret untuk lembaga yang sama ketika dasar tersembunyi Candi Borobudur mulai ditemukan. Ada sekitar 300 foto yang dibuat Cephas dalam proyek penggalian itu. Pemerintah Belanda mengalokasikan dana 9.000 gulden untuk penelitian tersebut. Cephas dibayar 10 gulden per lembar fotonya. Ia mengantongi 3.000 gulden (sepertiga dari seluruh uang penelitian), jumlah yang sangat besar untuk ukuran waktu itu.
Beberapa foto seputar candi tersebut dijual Cephas. Alhasil, foto‐foto buah karyanya itu menyebar dan terkenal. Ada yang digunakan sebagai suvenir atau oleh‐oleh bagi para elite Belanda yang akan pergi ke luar kota atau ke Eropa. Album‐album yang berisi foto‐foto Sultan dan keluarganya juga kerap diberikan sebagai hadiah untuk pejabat pemerintahan seperti presiden. Hal itu tentunya membuat Cephas dikenal luas oleh masyarakat kelas tinggi, dan memberinya keleluasaan bergaul di lingkungan mereka. Karena kedekatan dengan lingkungan elite itulah sejak tahun 1888 Cephas memulai prosedur untuk mendapatkan status “equivalent to Europeans” (sama dengan orang Eropa) untuk dirinya sendiri dan anak laki‐lakinya: Sem dan Fares.
Cephas adalah salah satu dari segelintir pribumi yang waktu itu bisa menikmati keistimewaan‐keistimewaan dan penghargaan dari masyarakat elite Eropa di Yogyakarta. Mungkin itu sebabnya karya‐karya foto Cephas sarat dengan suasana menyenangkan dan indah. Model‐model cantik, tari‐tarian, upacara‐upacara, arsitektur rumah tempo dulu, dan semua hal yang enak dilihat selalu menjadi sasaran bidik kameranya. Bahkan, rumah dan toko milik orang‐orang Belanda, lengkap dengan tuan‐tuan dan noni‐noni Belanda yang duduk‐duduk di teras rumah, juga sering menjadi obyek fotonya. Sekitar tahun 1863‐1875, Cephas sempat magang di sebuah kantor milik Isidore van Kinsbergen, fotografer yang bekerja di Jawa Tengah. Status sebagai fotografer resmi baru ia sandang saat bekerja di Kesultanan Yogyakarta. Sejak menjadi fotografer khusus Kesultanan itulah namanya mulai dikenal hingga ke Eropa.