Amazon & Big Data

Amazon Logo. Source: wikimedia.org.

Amazon didirikan pada tahun 1994 untuk berjualan buku secara online. Tapi kini ia telah keluar dari zona nyaman itu, dan berkembang pesat menjadi salah satu penjual ritel terbesar di dunia untuk produk-produk baik yang fisik maupun virtual, seperti ebook dan video streaming, bahkan sekarang ada juga Web Services.

Amazon terkenal berkat keunggulannya sekaligus sebagai pioneer dalam penggunaan teknologi yang dikenal dengan nama “Recommendation Engine”. Berkat keunggulan teknologi ini, semua system yang dibangun oleh amazon harus berjalan di atasnya. Recommendation Engine didesain untuk memprediksi apa yang konsumen inginkan, kapan mereka akan ingin, dan bahkan menawarkan mereka kesempatan untuk meperoleh uang, bisa berupa diskon atau yang lainnya.
Adanya Recommendation Engine menjadikan Amazon kini bergerak dari retailer biasa menjadi produsen barang dan services. Di luar bisnis utamanya yaitu jualan buku, Amazon bergerak juga di lini bisnis lain, seperti dalam dunia Film dan acara TV. Selain itu, perusahaan besutan Jeff Bezos ini juga menjadi produsen (yang juga sekaligus memasarkan sendiri) perangkat elektronik, seperti: tablet, TV box dan streaming hardware.

Bahkan baru-baru ini Amazon merambah juga ke bisnis suplai makanan di supermarket dengan menawarkan produk-produk segar dan pengiriman yang lebih cepat melalui layanan Amazon Now.

Masalah yang Dapat Diatasi dengan Big Data

Banjir informasi merupakan masalah yang sangat nyata, dimana informasi yang datang terlalu banyak sehingga menjadi sulit untuk dicerna. Online retailer senantiasa berusaha untuk menyediakan produk dan layanan beserta informasinya sebanyak dan selengkap mungkin guna meningkatkan potensi penjualan. Bahkan perusahaan raksasa seperti Amazon dan Walmart semakin tumbuh subuh dengan menerapkan model supermarket “everything under one roof”.

Namun seringkali dengan adanya informasi dan pilihan yang terlalu banyak, menjadikan konsumen bingung. Secara psikologis, ketakutan terhadap sindrom “buyer’s remorse” (mengeluarkan uang yang banyak namun menyesal kemudian akibat salah membuat keputusan) dapat membuat konsumen ragu-ragu bahkan menahan untuk mengeluarkan uang, hingga mereka benar-benar yakin dan melakukan penelitian yang komplit terhadap barang yang akan dibeli. Bahkan terkadang, kebingungan tersebut dapat membuat konsumen berubah pikiran dari yang semula hendak membeli 1 set perangkat Home Theater, menjadi menggunakan uangnya untuk berlibur. Pada akhirnya, Information Overload bisa menjadikan konsumen batal untuk membeli.

Hal yang sama juga terjadi pada bidang-bidang lain yang melibatkan informasi yang super besar. Konsumen bisa saja menjadi data-rich (dengan banyaknya informasi dan pilihan) namun insight-poor, yang mana mereka memiliki pengetahuan yang sedikit tentang apa yang paling tepat untuk dibeli, utamanya yang sesuai dengan kebutuhan sekaligus keinginan mereka.

Amazon menggunakan data-data yang diperoleh dari konsumen ketika mereka browsing di website Amazon untuk melatih Recommendation Engine mereka agar lebih akurat. Terkait Recommendation Engine ini, sebenarnya bukan Amazon yang menemukan pertama kali. Namun Amazon lah yang mempopulerkannya hingga terkenal di seluruh dunia. Teorinya adalah bahwa semakin mereka mengenal kita, semakin presisi prediksi mereka tentang apa yang kita inginkan. Ketika engine ini sudah terlatih dan dapat bekerja dengan baik, maka Amazon akan lebih mudah dalam ”membujuk” para pengunjung untuk membeli suatu barang tanpa harus melakukan pencarian secara menyeluruh pada katalognya.

Recommendation Engine yang dimiliki oleh Amazon, berbeda dengan RE-nya Netflix. Jika Netflix menggunakan metode Content-based Filtering, dimana system tidak perlu tahu tentang data-data tidak terstruktur (unstructured data) pada suatu produk yang dijual. Sistem hana perlu tahun tentang metadata dari produk-produk tersebut, seperti: nama produk, hara, siapa saja yang sudah membelinya, dan informasi-informasi terkait dengan itu.

Sedangkan pada Amazon, yang digunakan adalah Collaborative Filtering. Metode ini bekerja dengan mencari tahu siapa kita sebenarnya. Selanjutnya mereka akan menawarkan barang atau produk yang telah dibeli orang lain dengan profile yang mirip dengan kita.

Engine dari Amazon tersebut mengumpulkan data dari 250 juta lebih pelanggan ketika mereka mengakses atau menggunakan layanan Amazon. Terkait dengan apa yang kita beli, mereka memonitor seperti apa kita dan alamat pengiriman kita guna memperoleh data demografi. Dengan data ini pun mereka nantinya akan bisa memperkirakan tingkat pendapatan kita dengan melihat di lingkungan mana kita tinggal. Waktu browsing juga tidak luput dari pengawasan mereka, guna memetakan perilaku kita, sekaligus untuk mencocokkannya dengan data-data orang lain yang memiliki pola yang sama. Jika kita menggunakan layanan streaming mereka, seperti: Amazon Prime, baik untuk Streaming Video atau Rental Buku, maka mereka akan merekam dan menganalisa seberapa lama kita menghabiskan waktu untuk melihat movie atau membaca buku.

Data-data yang dikumpulkan tersebut nantinya dapat digunakan untuk menganalisa pelanggan dari sudut manapun, yang dikenal dengan istilah “360-degree view”. Dengan menggunakan kelebihan ini, Amazon akan dapat menemukan pelanggan-pelanggan yang berada dalam satu ceruk. Sebagai contoh, para pelanggan pria dengan usia antara 30-40 tahun, tinggal di rumah kontrakan, pendapatan per-tahunnya antara Rp. 50-70 juta, dan menyukai film-film barat. Ketika ceruk sudah terbentuk, maka dengan mudah Amazon dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi yang sangat sesuai dengan mereka, tentunya berkat peran Recommendation Engine.

Bagaimana Hasilnya?

Pada tahun 2014, Amazon mendapatkan $90 miliar dari hasil penjualan di seluruh dunia. Penghasilan dari bisnis cloud-based Web services seperti Amazon Web Services mengalami peningkatan hingga 81% di tahun 2014, mencapai $1.8 miliar.

Sebagai tambahan, pendekatan Big Data-driven yang digunakan oleh Amazon baik itu untuk keperluan belanja maupun layanan pelanggan, telah menjadikan brand perusahaan ini dikenal luas secara global. Di Amerika Serikat sendiri, Amazon telah berhasil menjadi online retailer terbesar, berkat teknologi Recommendation Engine dan strategi customer-focused approach yang diterapkannya secara konsisten.

Bagaimana Data Tersebut Digunakan?

Sebagaimana disampaikan sebelumnya, Amazon mengumpulkan data pengguna ketika mereka melakukan browsing pada website amazon. Data-data yang dikumpulkan bisa berupa apapun, mulai dari lama waktu pengguna dalam menjelajahi suatu halaman, hingga Bahasa yang digunakan oleh pengguna ketika menuliskan review produk. Di sisi lain, Amazon juga menggunakan dataset eksternal seperti data sensus penduduk untuk melakukan Analisa demografi.

Jika kita menggunakan aplikasi mobile mereka pada smartphone atau tablet kita dengan GPS aktif, maka mereka juga dapat memperoleh informasi tentang lokasi kita sekaligus informasi tentang aplikasi dan layanan lain yang kita gunakan di smarphone kita.

Jika kita menggunakan layanan Amazon streaming, seperti Amazon Prime dan Audible, maka data-data kita seperti dimana, kapan, dan bagaimana kita menonton dan mendengarkan TV, film, serta audio pun dapat mereka peroleh.
Pada tahun 2013, Amazon mulai menjual data-data terkait pola perilaku pelanggan kepada para advertiser. Dengan demikian, para pengiklan tersebut dapat berperan sebagai Big Data-driven dan menjalankan strategi marketing mereka sendiri.

Apa Saja Detail Teknisnya?

Bisnis utama Amazon diproses di Central Data Warehouse, menggunakan server Hewlett-Packard yang menjalankan Oracle di Sistem Operasi Linux. Perangkat tersebut memproses sekitar 187 juta pengunjung unik di website per-bulannya, dan lebih dari 2 juta penjual pihak ke-tiga di Amazon Marketplace.

Tantangan Kedepan

Tantangan umum dari para e-tailers adalah bagaimana membuat masyaraat percaya untuk terlibat dalam aktifitas komersial online, baik sebagai penjual maupun pembeli. Namun sepertinya itu sudah tidak berlaku bagi Amazon, terbukti dengan jumlah pengguna yang sudah sangat besar dan terus tumbuh. Saat ini, berkat keamanan yang lebih baik beserta dukungan dari pemerintah, sebagian besar dari kita atau pengguna sudah tidak lagi kuatir untuk memberikan informasi detail tentang kartu kredit kita kepada online retailer, bahkan melebihi kepercayaan kepada toko-toko konvensional, atau yang dikenal dengan istilah “bricks and mortar”. Amazon menggunakan Netscape Secure Commerce Server Systems dan juga SSL untuk menyimpan informasi sensitive di dalam database yang terenkripsi.

Poin Penting

Adanya pilihan yang beragam untuk konsumen merupakan sesuatu yang bagus. Namun, terlalu banyak pilihan dan sedikit panduan akan menyulitkan konsumen bahkan bisa membuat mereka batal melakukan pembelian.

Big Data Recommendation Engine mampu menyederhanakan tugas tersebut, yaitu memprediksi apa yang konsumen inginkan. Sang Engine akan terlebih dahulu melihat profile si konsumen baru dan kemudian melakukan analisa terhadap pelanggan lain dengan profile serupa. Apa yang ada pada pelanggan lain itu lah yang bisa dijadikan rekomendasi untuk si pelanggan baru tersebut.

Referensi:

Dean, J. (2014). Big Data, Data Mining, and Machine Learning. New Jersey: Wiley.
Hurwitz, J., Nugent, A., Halper, F., & Kaufman, M. (2013). Big Data for Dummies. New Jersey: Wiley.
Marr, B. (2015). Big Data: Using Smart Big Data Analytics and Metrics to Make Better Decisions and Improve Performance. West Sussex: Wiley.
Marr, B. (2016). Big Data in Practice: 45 Successful Companies Used Big Data Analytics to Deliver Extraordinary Results. West Sussex: Wiley.

Semarang, 11 Februari 2019

F.A.R.

*Artikel ini telah lebih dulu dipublikasikan di http://www.fauziadi.com

http://fauziadi.com/wp/amazon-dan-big-data/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *