Pencitraan Itu Perlu

Tulisan ini muncul karena keheranan membaca banyaknya opini  yang menganggap pencitraan dan social media buzzer itu sesuatu yang buruk. Padahal sejauh yang saya lihat, orang/kelompok yang mengatakan pihak lain melakukan pencitraan itu juga sedang melakukan pencitraan, hanya saya pencitraannya kalah jauh dibanding pihak lawannya tersebut. Jadi apakah pencitraan itu benar perlu?

Pencitraan itu perlu, buat sebagian orang bahkan mendekati wajib. Pencitraan itu sudah sering kita lakukan sehari-hari, bukan hanya pada waktu PEMILU saja.

Saya tidak percaya ada orang yang tidak melakukan pencitraan ketika akan bertemu dengan calon mertua. Mungkin tidak selalu berlebihan, tapi minimal kita berusaha berpakaian sepantasnya dan berperilaku yang kira-kira menyenangkan calon mertua. Bukan hanya itu, kita pun mencoba menutup-nutupi kebiasaan buruk yang kita lakukan di depan calon mertua.

Belum pernah ketemu calon mertua?

Saya juga tidak percaya ada orang yang mengikuti sholat Ied hanya dengan menggunakan pakaian santai (kaos oblong dan celana kolor/jeans kotor). Meskipun tidak harus menggunakan pakaian yang serba mahal dan mewah, tapi minimal kita akan berusaha menggunakan baju koko + sarung atau bahkan gamis.

Jadi jangan hanya karena kalah pencitraan dengan orang lain lalu kita bilang “Ah itu pencitraan”, seolah-olah pencitraan itu salah dan kita tidak pernah melakukan pencitraan itu.

Menunjukkan kebaikan itu boleh, menutupi keburukan itu juga boleh. Yang tidak diperbolehkan adalah pencitraan dengan cara memalsukan kebaikan atau mempertontonkan keburukan orang lain (black campaign).

Lalu bagaimana pencitraan dengan dominasi media massa dan social media buzzer?

Mass media dan digital social media hanya alat, kalau memang pencitraannya boleh, tentu saja penggunaan alat tersebut juga boleh. Justru saya  heran kalau di era digital sekarang ada yang ingin memberikan pengaruh publik tapi tidak memanfaatkan alat yang bernama digital media dan social media. Kalau memang ada orang/kelompok yang seperti itu, maka dia/mereka bukanlah kelompok yang jujur, tapi kelompok yang naif. Ibarat mau melamar calon istri tapi nggak mencoba PDKT dengan orang tua.

Tapi bukankan jika semua saling berebut pengaruh melalui mass media dan social media masyarakat akan menjadi terpecah?

Penggunaan medianya tetap boleh, yang tidak boleh adalah aksi memecah belah, dan salah satu contoh kongkrit aksi pecah belah adalah dengan menghina atau merendahkan kelompok lain. Kalau tujuannya promosi tanpa merendahkan pihak lain, yakin kok kalau masyarakat tidak akan terpecah belah. Buktinya sampai sekarang kita tidak pernah berantem antara pengguna deterjen Rinso dan SoKlin.

Bagaimana jika pencitraan tadi tujuannya untuk melakukan penipuan?

Berarti yang terlarang adalah penipuannya, bukan pencitraannya. Yang terlarang adalah janji-janji bohongnya, bukan pencitraannya. Oleh karena itu, menjadi sangat penting sekali bagi kita untuk melakukan tracking dan validasi dari pencitraan tersebut, seperti halnya penting bagi orang tua untuk membedakan calon mantu yang benar-benar baik atau yang cuman pura-pura baik saja.

Jadi bagaimana menyikapi isu-isu pencitraan tersebut?

Sebagai target dari aksi pencitraan, wajib bagi kita untuk dapat memilah antara modus dan fakta, antara cover dan isi, antara atribut dan esensi, untuk memastikan kita tidak salah membeli tempe berbungkus daging. Di lain pihak kalau kita yang mempunyai kepentingan melakukan pencitraan, kita harus paham betul dengan psikologi masyarakat target pencitraan kita untuk dapat dengan mudah meraih hati mereka, namun tetap harus jujur dan tidak merendahkan pihak lain.

Kalau merasa paragraf terakhir saya lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, silahkan hubungi saya, nanti akan saya ajari prakteknya.

Hahahahahhaaa……. (artikel ini juga termasuk bagian dari pencitraan)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *