Spiral Kekerasan Akademik
oleh Supriadi Rustad
PEMBUNUHAN oleh mahasiswa terhadap dosen di kamar mandi sebuah perguruan tinggi di Sumatera Utara dan penemuan mayat mahasiswi di toilet kampus ternama di Yogyakarta, menjadi kado terpahit dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional yang baru saja lewat. Peristiwa ini sekaligus menjadi ironi di tengah-tengah makin menguatnya kesadaran untuk merevitalisasi pendidikan karakter di perguruan tinggi.
Kasus kedua, sejauh penyelidikan polisi, merupakan kasus kriminal murni. Sebaliknya, kasus yang disebut pertama, meski tetap saja berada dalam ranah kriminal, berdasarkan pengakuan pelaku kepada polisi, berkaitan dengan persoalan akademik. Tanpa bermaksud meminggirkan persoalan kriminal yang menyelimuti kasus pembunuhan mahasiswa terhadap dosennya itu, akar persoalan akademik kiranya perlu diurai dalam bingkai atmosfer akademik.
Etiket akademik jelas menyebutkan, menyontek saja merupakan sesuatu yang haram; melakukan plagiasi (mendaku karya orang lain sebagai karya sendiri) juga haram. Tugas kampus, dengan budaya akademiknya, menegakkan dan menjunjung tinggi nilai kejujuran di atas segalanya. Maka, pembunuhan di kampus yang dilakukan oleh mahasiswa terhadap dosennya dengan motif yang berkait-paut dengan kegiatan akademik, jelas menjadi cermin betapa parah atmosfer akademik di sebuah perguruan tinggi.
Jika sampai terjadi pembunuhan, apalagi oleh mahasiswa terhadap dosennya, atau sebaliknya, dalam konteks hubungan akademik, terang menunjukkan kegagalan pembangunan budaya akademik di suatu kampus. Karena pembunuhan itu merupakan bentuk kekerasan yang derajatnya sangat tinggi, sangat boleh jadi lingkungan akademik di kampus penuh dengan kekerasan (akademik). Ada kekerasan lain yang tak terlihat karena tidak muncul di permukaan, padahal di dalamnya ada “bara dalam sekam”, bahkan tak berlebihan jika dikatakan ada spiral kekerasan akademik di sana.
Jikalah benar pengakuan mahasiswa pelaku bahwa tindakan itu karena dendam dalam relasi pelaku sebagai mahasiswa dan korban sebagai dosen, bukan relasi yang bersifat pribadi atau yang lain di luar urusan kehidupan kampus, maka jelaslah ada komunikasi akademik yang macet. Karena itu, patut untuk dilihat kesehatan akademik kampus yang menaungi mereka, baik tingkat universitas, fakultas, program studi, dan dosen dalam kaitannya dengan pemenuhan Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang merupakan standar minimal layanan yang mesti disediakan oleh suatu perguruan tinggi.
Kini sangatlah mudah bagi publik untuk melihat indikasi kesehatan sebuah perguruan tinggi. Cara tercepat adalah mencermati data nisbah (ratio) antara jumlah mahasiswa dan jumlah dosen yang mengasuhnya. Data ini tersedia dalam jaringan (online) di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti: http://forlap.dikti.go.id), dan publik cukup mengetikkan kata kunci universitas atau prodi tertentu untuk mengetahui rekaman akademiknya. Meski uji silang dengan data-data lainnya tetap diperlukan, data nisbah ini sudah terbukti ampuh sebagai kunci pembuka informasi kesehatan perguruan tinggi.
Langkah awal adalah memeriksa data nisbah tingkat institusi. Data nisbah institusi di atas angka 45 merupakan penyimpangan, dan boleh jadi bibit kekerasan akademik dimulai dari tingkatan ini. Berikutnya memeriksa data nisbah tingkat program studi. Jika terdapat cukup banyak program studi yang nisbahnya jauh menyimpang dari angka 45, maka sudah mulai ada tanda-tanda kekerasan institusi terhadap unsur-unsurnya.
Pengadministrasian dosen pada program studi homebase merupakan otonomi perguruan tinggi dan dosen dapat ditugasi mengajar pada program studi lain yang membutuhkan. Jika terjadi penyimpangan nisbah di banyak program studi, dampaknya adalah kekerasan institusi yang ditimpakan kepada program studi, dan selanjutnya ditimpakan kepada dosen. Melalui PD Dikti ini, publik dapat dengan mudah memeriksa beban mengajar dosen, yaitu dengan masuk ke menu Profil Perguruan Tinggi, pilih Program Studi, pilih Dosen, dan klik Riwayat Mengajar.
Idealnya, beban kerja dosen berkisar 12-16 sistem kredit semester (SKS) yang setara dengan 4-6 mata kuliah. Dosen yang ditugasi mengajar jauh menyimpang dari angka ini, berpotensi mengalami kekerasan. Dari sisi loyalitas, sungguh tidak perlu diragukan lagi pengabdian dosen yang melebihi angka itu. Namun bisa dibayangkan betapa letihnya seorang dosen yang, misalnya, mengajar lebih dari 40 sks per minggu plus tugas untuk melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat sebagai kelengkapan penunaian tridarma perguruan tinggi.
Bentuk kekerasan lainnya adalah penugasan dosen di luar kualifikasi dan kompetensinya. Melalui menu Riwayat Mengajar, publik dapat dengan mudah memeriksa contoh Mata Kuliah yang diampu seorang dosen, misalnya Kependidikan, Psikologi Sosial, Hukum Tata Negara, Bahasa Indonesia, Filsafat Pendidikan, Jurnalistik, Pancasila dan Kewarganegaraan, Akuntansi, Sosial Politik, dan Ekonomi.
Jika beban seberat itu yang mesti dipikul oleh seorang dosen, betapa akut sesungguhnya kekerasan akademik yang ditimpakan oleh institusi kepada dosen. Kekerasan itu pun tidak hadir tunggal, melainkan selalu dibarengi dan diikuti dengan kekerasan lain atau meminjam teori spiral kekerasan Dom Helder Camara sebagai spiral kekerasan akademik.
Nisbah hanyalah angka yang kelihatan. Namun justru yang paling krusial untuk dilihat adalah mindset pengelola, yang diakui atau tidak, kerap kali mengedepankan profit oriented. Indikasi jelas, yakni menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya tanpa disertai upaya konkret agar mereka mendapatkan layanan sesuai dengan standar minimal, baik pada aspek dosen, proses, evaluasi, maupun pengelolaan. Dari sinilah kekerasan menjalar dari institusi-program studi- dosen-mahasiswa, atau sebaliknya, dengan efek pantulan yang sulit diduga.
Kondisi sebagaimana dipaparkan di atas boleh jadi menjadi gambaran pada ratusan perguruan tinggi kategori bermasalah di republik ini. Yang terkuak barulah sedikit dari permukaan gunung es.
Karena itu, sudah saatnya badan penyelenggara pendidikan tinggi, baik pemerintah maupun badan hukum yang didirikan oleh masyarakat, meningkatkan fungsi pembinaan, pengawasan, dan pengendalian untuk memastikan pengelola perguruan tinggi telah menyediakan layanan sesuai dengan standar minimal. Dunia semakin terbuka dan masyarakat, terutama mahasiswa, semakin kritis. Jika seorang mahasiswa selama kuliah tidak mendapatkan layanan sesuai dengan ketentuan, dan di kemudian hari ia menjadi lulusan yang tidak lulus dalam suatu uji kompetensi nasional, maka terbuka sengketa hukum antara yang bersangkutan dan almamaternya.