Menata Langkah Pemilihan Rektor UHO

Menjelang lohor hari Senin tanggal 21 November 2016, saya ditelepon Oleh Rektor Udinus Prof. Edi Noersasongko, mengabari bahwa beliau baru saja menerima telepon dari Menristekdikti yang pada intinya Kemenristekdikti meminjam saya untuk ditugasi sebagai pelaksana tugas rektor di Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari. Sambil tertawa p Edi menegaskan bahwa beliau sudah menyanggupi permintaan kementerian. Bagi saya,  itu artinya sebuah perintah atasan yang harus dilaksanakan. Pada tanggal 23 November 2016 oleh staf kementerian saya diberi salinan Surat Tugas sebagai pelaksana tugas, efektif berlaku sejak tanggal 24 November 2016. Sambil mempelajari berita-berita tentang UHO dan dokumen Inspektorat Jenderal, saya bertekad untuk “deal” dengan menteri sebelum menyanggupi melaksanakan tugas itu. Sebelumnya saya memang mendengar ada permasalahan pada pemilihan rektor UHO tetapi kurang mengikutinya secara memadai.

Pada jumat sore tanggal 25 November 2016, akhirnya saya bertemu pak menteri Nasir yang didampingi sesjen dan dirjen kelembagaan. Pada pertemuan itu saya mengajukan 2 syarat yang kemudian disetujui oleh beliau. Syarat pertama, selama menjabat sebagai pelaksana tugas saya tidak bersedia menerima gaji baik dari kementerian ataupun UHO. Syarat kedua, selama menjalankan tugas saya tidak bersedia diarahkan untuk memihak/mendukung  calon rektor tertentu. Melalui data yang  terkumpul, saya memahami bahwa yang dibutuhkan oleh UHO saat ini adalah netralitas. Dari cara pak menteri menyetujui 2 syarat yang begitu spontan, saya menangkap kesan sepertinya kementerian juga tidak memiliki “kepentingan” personal terhadap calon rektor UHO mendatang. Sesuai Surat Perintah No. 08/M/SPRINT/XI/2016, tugas utama pelaksana tugas ada 2 yaitu mengkoordinasikan dan memastikan seluruh layanan tridharma perguruan tinggi berjalan sebagaimana mestinya, dan melaksanakan pemilihan rektor UHO periode berikutnya.

Pada minggu terakhir bulan November itu saya mengamati ada sejumlah berita di media OnLine setempat tentang penolakan beberapa dosen dan guru besar terhadap pelaksana tugas, namun bagi saya tugas membantu menyelamatkan UHO jauh lebih penting mengingat masa depan perguruan tinggi ini sangat strategis sebagai penyangga pemekaran wilayah di Sulawesi Tenggara yang begitu pesat. Teringat  kemudian bahwa pada tahun 2012 ketika masih bertugas sebagai Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ditjen Dikti,  saya pernah memasukkan UHO sebagai perguruan tinggi yang harus segera “dibesarkan” di dalam kerangka MP3EI untuk Kawasan Timur Indonesia. Hibah mandat untuk  pembukaan  25 program studi baru termasuk program studi pertambangan ketika itu ditanda tangani oleh Dirjen Dikti Djoko Santoso. Setidaknya sejak saat itu perhatian pemerintah (Kemdikbud ketika itu) kepada perguruan tinggi ini  sungguh sangat besar.

Membangun netralitas adalah langkah strategis pertama yang harus segera diambil untuk membangun komunikasi dengan pihak-pihak yang sedang berkonflik. Caranya sederhana dan mudah yaitu dengan “menjaga jarak” dengan segala fasilitas yang boleh disediakan oleh UHO kepada pelaksana tugas seperti penjemputan, rumah dan mobil dinas. Pada tanggal 30 November 2016 saya berkomunikasi dengan Wakil Rektor 2 Prof. Hilaludin Hanafi dan Kabiro Umum pak Rafiudin agar tidak ada penjemputan dan jamuan atas kedatangan saya pada tanggal 1 Desember. Seorang pelaksana tugas harus memiliki kerelaan hati untuk memberikan waktu, tenaga dan pikiran untuk menyelesaikan masalah dengan membuang jauh hak dan kepentingan pribadinya. Alhamdulillah, pihak UHO mematuhi instruksi ini dengan baik, dan mulailah saya menangkap kesan bahwa UHO merupakan sosok institusi yang loyal kepada kementerian.  Cara lain membangun netralitas adalah mengarahkan seluruh permintaan pertemuan  baik dari dalam maupun luar UHO untuk selalu di dalam kampus atau di kantor, serta menghindari pertemuan di luar kampus/kantor dengan pihak manapun.

Langkah kedua adalah membangun komunikasi dengan seluruh elemen baik secara terbuka maupun tertutup untuk memperoleh peta masalah yang obyektif. Seorang pelaksana tugas harus memiliki kesanggupan sebagai keranjang sampah “mendengarkan” seluruh keluh kesah yang disampaikan oleh sivitas akademika. Saya minta WR 2 mengatur jadwal pertemuan dengan seluruh jajaran pimpinan dan seluruh elemen kemahasiswaan serta “open house” bagi siapapun yang ingin menyampaikan informasi dan aspirasi.  Secara meyakinkan saya merasakan suasana kampus menjadi semakin kondusif. Pada kedatangan pertama tanggal 1 Desember, saya melihat di meja  ada ucapan ”selamat datang dan selamat bertugas” dari sivitas akademika kepada pelaksana tugas yang dimuat di Kendari Pos seukuran ½ halaman. Sehabis lohor pada pertemuan dengan unsur pimpinan, saya menyaksikan seluruh hadirin berdiri dan mengucapkan ikrar mendukung penuh pelaksana tugas. Demikian pula pada pertemuan dengan seluruh unsur kemahasiswaan Jumat tanggal 2 Desember, tertangkap sejumlah dukungan kepada pelaksana tugas meski sangat banyak daftar masalah yang diajukan oleh mahasiswa untuk mendapatkan solusi segera.

Sesi “open house” sungguh sangat  produktif untuk memetakan masalah sekaligus menemukan alternatif solusinya. Dalam kurun 6 hari efektif, berhasil dikompilasi pemikiran dari 33 perorangan/kelompok dan satu pemikiran terkonsolidasi dari 24 guru besar. Bahan-bahan ini telah saya sintesakan menjadi sebuah laporan awal kepada menteri pada tanggal 20 Desember 2016. Digambarkan sebuah perguruan tinggi yang tumbuh berkembang pesat, namun persoalan yang menyertainya juga semakin banyak. Disiplin ilmu mengarahkan untuk selalu  “to decompose” persoalan kompleks, mengurai persoalan rumit menjadi sejumlah persoalan sederhana serta mencari solusinya. Dari sejumlah persoalan, ada 2 yang mendesak dan relevan dengan tugas saat ini yaitu penataan ulang keanggotaan senat dan mengembalikan proses pemilihan rektor sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan budaya akademik. Kalaupun kelak ini menjadi bagian dari solusi, sungguh ini berasal dari mutiara pemikiran internal teman-teman UHO sendiri.

Langkah ketiga adalah mendorong kementerian menerbitkan regulasi yang kredibel baik dalam konteks pemilihan rektor maupun perkembangan UHO di masa depan. Mengacu kepada dokumen Statuta dan SOTK, sejumlah butiran telah dimintakan penjelasan kepada kementerian terkait dengan penataan anggota senat. Saya memahami bahwa tema ini sangat “unik” dalam arti harus sesuai dengan tradisi dan budaya UHO sebgaimana tercantum di dua dokumen tersebut.

Mempelajari data makro UHO, saya mulai memahami dinamika yang terjadi sekarang. Jumlah dosen sekira 1200 orang dan jumlah mahasiswa mesti diklarifikasi lebih lanjut. Sebuah laporan menyebut total mahasiswa 54 ribu, laporan lain 50 ribu atau 45 ribu, sementara data di PD Dikti tercatat 17 ribu. Belum ada rujukan kredibel untuk menyebutkan jumlah mahasiswa saat ini, namun feeling saya mengarahkan pada angka sekira 40 ribu. Dengan asumsi ini, anggaran UHO sungguh sangat kecil, hanya 50 % dari standar ideal BAN PT (18 juta/tahun/mahasiswa). Dari total anggaran, sumbangan dari SPP mahasiswa  37,5 %, hasil kerjasama institusi 14,5 % dan subsidi APBN 48 %. Jika asumsi jumlah mahasiswa adalah benar 40 ribu, dapat disimpulkan bahwa postur anggaran perguruan tinggi ini kurang memadai.

Seluruh sivitas akademika UHO mesti memahami dengan baik data ini. Semua tahu bahwa menaikkan penerimaan dari SPP tentu bukan pilihan yang enak, sementara menggenjot penerimaan dari hasil kerjasama institusi bukanlah perkara mudah. Bagi kementerian, menaikkan subsidi untuk UHO yang sudah mendekati 50 % itu juga bukan perkara mudah terutama terkait dengan penerimaan Negara saat ini dan pelaksanaan skala prioritas nasional. Perbedaan aspirasi internal harus segera dibingkai sehingga seluruh energi kita fokuskan untuk membangun  masa depan UHO yang lebih besar dan sejahtera.

Sebagai pelaksana tugas saya mengajak seluruh sivitas akademika untuk menyehatkan kampus ini dari dalam. Mutiara pemikiran UHO sejalan dengan impian saya yaitu mewujudkan pemilihan rektor yang sederhana dan rendah hati tanpa hiruk pikuk dan hingar bingar apalagi disertai pengerahan masa. Rektor mendatang tampaknya mesti merupakan sosok yang mampu berkomunikasi efektif dengan kementerian sebagai “pemilik saham” terbesar UHO karena dalam jangka pendek ke depan perguruan tinggi ini sangat membutuhkan “uluran”  perhatian yang lebih besar dari institusi induknya. Pelibatan pengaruh eksternal yang berlebihan sungguh merupakan pilihan yang sangat tidak menguntungkan perguruan tinggi ini.

Semarang, 3 Januari 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *