Banyak yang belum menyadari bahwa Pendidikan tinggi (dikti) di Indonesia sudah berubah. Masyarakat Dikti sendiri tampaknya juga belum sepenuhnya memahami perubahan itu. Tulisan ini tak lebih berisi catatan ringkas seorang yang pernah berkeliling ke sejumlah perguruan tinggi untuk melakukan sosialisasi tentang perubahan itu dan berkesempatan sekira tiga tahun untuk ikut mengimplementasikannya.
Tonggak penting perubahan kebijakan Dikti terjadi pada 4-5 tahun silam, yaitu ketika Pemerintah dan DPR menyetujui pengesahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Judul yang selalu digunakan pada pengantar bahan paparan sosialisasi resmi Ditjen Dikti adalah “Reformasi melalui Undang-Undang Pendidikan Tinggi”. Kata “reformasi” dipilih karena berkaitan dengan perubahan yang mendasar dan radikal.
Semangat UU Dikti tercermin di dalam stuktur pendahuluan, batang tubuh, dan penjelasan. Regulasi disusun untuk memastikan tanggung jawab negara menghindari komersialisasi Dikti, perluasan dan jaminan akses, pengembangan tridarma perguruan tinggi secara utuh, penguatan pendidikan vokasi, keutuhan jenjang pendidikan, otonomi perguruan tinggi, dan berjalannya sistem penjaminan mutu. Pada tulisan ini saya hanya mengulas butir terakhir, yaitu tentang sistem penjaminan mutu.
Dari sejumlah ayat tentang penjaminan mutu, ada dua yang perlu digarisbawahi. Pasal 52 ayat (3) menyatakan bahwa Menteri menetapkan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi dan standar nasional pendidikan tinggi. Ayat ini kemudian dilanjutkan dengan ayat (4) yang menyatakan bahwa penjaminan mutu pendidikan tinggi didasarkan pada pangkalan data pendidikan tinggi (PD Dikti).
Saya bersyukur ketika itu diberi amanah oleh Dirjen Dikti Djoko Santoso untuk mewujudkan PD Dikti ke dalam perangkat lunak dan kini perangkat itu sudah bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat meski tentu belum memuaskan semua pihak. Seingat saya dulu yang menyiapkan cetak biru PD Dikti Prof. Tjan Basarudin (UI) dkk. Terasa klop, posisi beliau sebagai Ketua Badan Akreditasi Nasional (BAN) Perguruan Tinggi sekarang sangat cocok dengan pengalamannya ikut membidani PD Dikti.
Asas Keterbukaan
Kebijakan tentang PD Dikti merupakan kebijakan mendasar dan radikal, karena dengan demikian Dikti menganut asas keterbukaan. Sejatinya dunia akademik memang berwatak terbuka. Segala pendapat, perbedaan, dan keumuman dapat disintesiskan menjadi sebuah teori/hukum berdasarkan kaidah-kaidah akademik. Sebuah teori yang salah pun tidak tabu dikoreksi dan diumumkan secara terbuka sebagai bagian dari proses pertumbuhan ilmu.
Sejalan dengan asas itu, data penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai domain publik diatur terperinci pada pasal-pasal tentang PD Dikti. Pasal 56 ayat 2 huruf c menegaskan bahwa PD Dikti berfungsi sebagai sumber informasi bagi masyarakat untuk mengetahui kinerja program studi dan perguruan tinggi.
Dengan demikian, secara hukum sejak 2012 data penyelenggaraan pendidikan tinggi telah menjadi domain publik. Ini yang menurut saya belum disadari sepenuhnya oleh masyarakat. Sekarang sudah bukan zaman “murid tak boleh baca buku pak guru”.
Pasal 56 ayat (4) menegaskan bahwa penyelenggara perguruan tinggi wajib menyampaikan data dan informasi penyelenggaraan perguruan tinggi serta memastikan kebenaran dan ketepatannya. Meski PD Dikti telah menjadi rujukan utama BAN PT dan sejumlah lembaga akreditasi lain, termasuk Kopertis di dalam menjalankan pengawasan, pengendalian, dan pembinaan, secara umum masyarakat belum mengetahui bahwa mereka memiliki akses yang luas terhadap PD Dikti yang demikian terbuka.
Kini, publik memiliki akses yang luas terhadap data penyelenggaraan pendidikan tinggi. Melalui laman forlap.ristekdikti.go.id, pengguna telah dimanjakan untuk berselancar menelusuri data PD Dikti. Meski masih dengan fitur lama, kemudahan akses makin hari makin baik. Hanya, sebagai catatan kecil, mesin pencarinya agak kurang “cerdas” sehingga perlu waktu lama untuk mengganti kata kunci.
Secara umum, struktur laman berisi rekap aneka jenis data dan profil mulai dari mahasiswa, dosen, program studi, hingga perguruan tinggi. Baik secara sendiri maupun bersama tiap-tiap profil dan rekapnya mencerminkan proses pembelajaran yang terjadi di perguruan tinggi. Bagi Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Kemenristekdikti –tempat saya bergabung di dalamnya, PD Dikti merupakan alat yang ampuh untuk melakukan penjaminan mutu pendidikan tinggi secara nasional. Berbagai penyimpangan terhadap standar sangat mudah dicermati melalui pangkalan data ini.
Data mahasiswa, dosen, kurikulum, dan hasil studi sudah sangat terbuka dan publik dapat mengaksesnya tanpa perlu login. Melalui menu Profil PT, masyarakat dengan leluasa bisa menemukan informasi akademik PT itu, misalnya tentang jumlah mahasiswa dan dosen semua program studi dan jenjang (S1, S2, S3), sehingga rasio dosen/pembimbing-mahasiswa dapat dengan mudah dilacak. Di tingkat prodi maupun PT, rasio profesor-mahasiswa S3 juga dapat ditemukan dengan mudah.
Masyarakat belum menyadari bahwa kini berbagai kecurangan akademik terpampang telanjang di PD Dikti dan laman-laman universitas. Sebagai tim yang bersama kawan-kawan ditugasi meneliti , kami menyaksikan pelanggaran demi pelanggaran terus terjadi. Ngeri membayangkan potensi gugat-menggugat jika masyarakat telah melek PD Dikti. Pelanggaran terhadap kewajaran, kepatutan, dan kepantasan akademik sesuai dengan standar nasional sungguh sangat mengkhawatirkan. Pengungkapan fakta yang sudah berada pada domain publik bertujuan untuk mengedukasi masyarakat agar lebih hati-hati dan terhindar dari perbuatan tidak terpuji.
Semangat keterbukaan tampaknya sudah disemai sejak era Menteri M. Nuh atau bahkan sebelumnya. Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi menjadi bukti. Itu ditegaskan pada peraturan yang hingga kini masih berlaku ini, terutama pasal 7 ayat (2), yang menyatakan bahwa pimpinan perguruan tinggi wajib mengunggah secara elektronik semua karya ilmiah mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan yang telah dilampiri pernyataan bebas plagiat dan kesanggupan menerima sanksi bila terbukti plagiat. Melalui peraturan ini pada tahun 2010, karya ilmiah sivitas akademika perguruan tinggi telah dinyatakan sebagai dokumen ranah publik.
Sejumlah PT telah mengimplementasikan azas keterbukaan karya ilmiah dengan sangat baik. Insitut Teknologi 10 November Surabaya (ITS), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Universitas Gunadarma, dan Universitas Bina Nusantara (Ubinus) –sekadar untuk menyebut contoh- patut disebut berada di barisan depan dalam hal ini. Begitu mudah kita mengakses karya ilmiah skripsi, tesis, disertasi dari PT-PT itu dan sejumlah lainnya yang tak tersebut. Berdasarkan penelitian yang menjadi tugas Tim EKA selama tiga tahun terakhir, karya ilmiah dari PT yang disebutkan di atas adalah yang paling banyak dijiplak oleh oknum PT lainnya.
Selain melalui repositori, perkembangan keterbukaan melalui blog dan laman penyedia informasi juga sangat “dahsyat”. Keterbukaan karya ilmiah memang membuka peluang sekelompok orang untuk berbuat curang, namun dalam jangka panjang keterbukaan yang disertai penegakan etika akademik akan menjadi tulang punggung PT menyemai sikap jujur.
Keterbukaan akademik terus menggelinding tak terbendung. Mulai tahun 2015 pada promosi kenaikan jabatan fungsional dan sertifikaasi dosen telah dipersyaratkan sejumlah karya ilmiah dosen yang dapat ditelusuri secara online. Demikian pula sejumlah layanan kelembagaan, penelitian, dan kemahasiswaan, hampir seluruhnya sudah mengarah pada layanan terbuka online terintegrasi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi diyakini menjadi pemicu keterbukaan Dikti. Karena itu, masyarakat perguruan tinggi harus lebih peduli terhadap data yang secara hukum telah masuk ranah publik.
Kebijakan terbaru Kemenristekdikti, sebagaimana disosialisasikan oleh Menristekdikti M Nasir di salah satu stasiun televisi swasta, adalah tentang akuntabilitas penerbitan ijazah oleh perguruan tinggi. Konsepnya mengoptimalkan modal keterbukaan yang sudah ada di PD Dikti untuk mengendalikan penerbitan ijazah. Kriterianya menggunakan Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang nilai parameternya dipasok secara otomatis oleh PD Dikti. Jika seorang mahasiswa belum memiliki sejumlah data valid yang terkait dengan parameter kelulusan, maka nomor registrasi ijazah tidak bisa diberikan dan ijazah tidak bisa dicetak. Instrumen ini diyakini mampu berperan sebagai cara yang elegan untuk mengendalikan dan meredam maraknya ijazah palsu tanpa menimbulkan banyak kegaduhan.
Menyongsong musim penerimaan mahasiswa baru, tulisan ini mengingatkan masyarakat agar lebih cermat memilih program studi dan perguruan tinggi. Sebelum menentukan pilihan, cermati profil dosen, prodi, dan PT. Ada baiknya Anda menengok riwayat studi, riwayat mengajar, dan riwayat peneilitian dari dosen yang terdaftar di prodi yang dituju. Periksa pula karya ilmiah sivitas akademika perguruan tinggi yang terunggah di berbagai media, termasuk di laman institusi. Semakin banyak Anda mendapatkan informasi prodi dan perguruan tinggi melalui PD Dikti, semakin tepat Anda menentukan pilihan. Namun, bisa juga Anda akan menjumpai keanehan-keanehan yang menggelikan, … wkwkwk.
—Supriadi Rustad, Tim Evaluasi Kinerja Akademik Kemenristekdikti, Panja UU no. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.