Supriadi Rustad: Masyarakat yang Sakit Lahirkan PTS Abal-abal

Sempat menyamar sebagai fotografer wisuda, Prof Dr Supriadi Rustad MSi bersama timnya membubarkan wisuda 1.300-an calon sarjana yang dinilai abal-abal di Jakarta, pekan lalu. Inspeksi demi inspeksi dia gelar di berbagai kota, menyusul penonaktifan status sedikitnya 243 perguruan tinggi yang menurut Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristek Dikti) masuk kategori nakal. Berikut petikan perbincangan dengan ketua Tim Evaluasi Kinerja Akademik Perguruan Tinggi Kemristek Dikti itu berkait perkara tersebut.

Apa sasaran berbagai sweeping yang tim Anda lakukan di berbagai perguruan tinggi akhir-akhir ini?

Sebenarnya sasaran kegiatan itu adalah masyarakat agar peduli terhadap pendidikan. Yang kami perangi mindsetmasyarakat. Mindset masyarakat yang ingin mendapat gelar kesarjanaan secara mudah dan menerabas. Itulah sasaran utama yang hendak kami perangi. Sebab, jika cara pandang masyarakat sudah berubah, setiap upaya jual-beli ijazah dan praktik pendidikan abal-abal tidak laku lagi.

Jadi sumber penyakit justru ada di masyarakat, bukan perguruan tinggi abal-abal itu?

Ya, sumber penyakit itu ada di masyarakat. Penyelenggara menangkap sakitnya masyarakat itu sebagai peluang. Kalau masyarakat sehat dalam memandang pendidikan, perguruan tinggi nakal pasti gulung tikar.

Kenapa baru dilakukan sekarang?

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengamanatkan semua data perguruan tinggi masuk dalam sebuah pangkalan data. Itu kan belum lama berlaku. Itu yang memberikan payung hukum. Dari situlah kami baru bisa bergerak untuk mengedukasi masyarakat.

Data itu kami bagikan ke masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengetahui kinerja setiap perguruan tinggi secara luas. Dulu kami beranggapan, jika profil perguruan tinggi kami tampilkan di tengah-tengah masyarakat, masyarakat akan memilih yang baik. Masyarakat tetap saja memilih jalan pintas, yang cepat. Sayang memang, justru mindset masyarakat belum berubah.

Seperti apa gambaran perguruan tinggi di Indonesia?

Berdasar data Pangkalan Data Perguruan Tinggi, kondisi perguruan tinggi di Indonesia saat ini seperti kurva normal. Ada yang anomali di sisi kanan, yang bagus-bagus. Di tengah- tengah, yang normal, ada perguruan tinggi yang baik-baik saja, sedangkan anomali di kiri adalah perguruan tinggi nakal, yang abalabal itu. Selalu orientasi yang kiri itu kegiatannya bukan untuk pendidikan, melainkan untuk bisnis, mencari keuntungan finansial belaka. Semua program kerjanya diarahkan untuk mencari keuntungan. Yang berada di pojok kiri ini jumlahnya ratusan. Itulah yang jadi perhatian kami. Kalau kita bicara soal kesejatian, yang di kiri itu bukan perguruan tinggi, melainkan kelompok pebisnis yang mengeksploitasi mindset masyarakat yang masih sakit untuk kepentingan diri sendiri.

Praktiknya seperti apa?

Apa pun kegiatan mereka, ujung-ujungnya jual-beli ijazah. Pemerolehan ijazah itu tidak melalui proses yang benar, yakni proses pendidikan yang bisa dipertanggungjawabkan akuntabilitas akademiknya. Misalnya, tidak terekam data mana pun, tiba-tiba seseorang diwisuda dan mendapatkan ijazah kesarjanaan.

Pada jenjang apa kenakalan itu paling meruyak?

Jika kita breakdown, kenakalan itu justru paling banyak terdapat pada jenjang S-2, magister. Mungkin itu berkait dengan fungsi ijazah yang dianggap prospecting karena bisa untuk menaikkan pamor sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, misalnya, atau untuk kenaikan pangkat, promosi. Pada segmen itu, jual-beli ijazah tampak sedemikian kuat.

Ada gambaran lebih konkret pada segmen itu?

Sebagaimana yang kami inspeksi di Jawa Timur, pekan lalu, sebuah program magister yang setiap tahun hanya menerima 50 mahasiswa baru, namun di ujung bisa mewisuda 500 mahasiswa. Kan ada selisih 450 orang. Dari mana mereka, sehingga tiba-tiba bisa diwisuda? Itu salah satu modus jual-beli ijazah. Belum lagi kalau melihat proses akademiknya. Kalaupun ada kegiatan akademik, ya abal-abal.

Bagaimana bisa menengarai sebuah perguruan tinggi abalabal?

Gampang. Lihat sumber dayanya. Kalau dosen tidak ada, tetapi mahasiswa banyak sekali, itu petunjuk kuat di sana ada jualbeli ijazah. Misalnya, dosen hanya dua, tetapi mahasiswa ribuan. Jelas itu indikasi yang sangat kuat. Jadi mudah melihatnya.

Bukankah dosen bisa berasal dari kalangan praktisi?

Dosen harus profesional, artinya hidup-mati di kampus dengan tugas utama mengajar dan membimbing mahasiswa, meneliti, dan mengabdi pada masyarakat. Jadi tidak mungkin dirangkap seseorang yang memiliki profesi lain. Karena itu, para praktisi atau ahli di bidang yang sesuai dengan program studi bisa diakomodasi, tetapi jumlahnya tidak boleh mendominasi komunitas dosen tetap pada program studi. Sebagai unsur pelengkap, boleh, bagus, tetapi bukan pemain utama.

Apa kekuatan tim yang Anda pimpin?

Kami hadir dengan misi membina. Kami datangi perguruan tinggi yang sakit, kami diagnosis, di mana sakitnya, mana pula unsur-unsur sehatnya. Dengan mengetahui unsur sehatnya, kami bisa mendorongkan pada bagian mana perguruan tinggi itu bisa menemukan kesehatannya.

Kalau pelanggarannya tidak berat, faktanya mahasiswa ada, dosen ada, dan proses perkuliahan berjalan, kami bina.

Ada sanksi?

Mayoritas pencabutan, entah pencabutan izin program studi atau pencabutan izin perguruan tinggi. Kasus itu banyak. Adapun di ranah hukum, kalau sebuah perguruan tinggi yang sakit diingatkan, kemudian menurut, tidak perlu sampai ke ranah hukum. Namun jika sudah nakal tetapi membandel, bahkan melawan dengan berbagai cara, apalagi caranya tidak benar, persolannya kami serahkan ke penegak hukum.

Sejauh ini ada yang melawan?

Ada, yang di Jakarta itu. Persoalannya kami serahkan ke penegak hukum.

Di Jawa Tengah, mungkinkah tindakan tim dilakukan?

Mungkin. Ketika kami telah melakukan di luar Jawa Tengah, semestinya perguruan tinggi di provinsi ini berbenah. Kalau itu tidak terjadi, di Jawa Tengah akan benar-benar ada yang mengalami hal serupa dengan perguruan tinggi nakal di provinsi lain. Memang ada, tak kurang dari lima perguruan tinggi di Jawa Tengah yang bermasalah. Saya berharap mereka segera berbenah.

Bentuknya seperti apa pada kelima perguruan tinggi Jawa Tengah itu?

Terutama pada ketidakseimbangan antara sumber daya dan jumlah mahasiswa. Yang paling kelihatan, terutama pada ketidakseimbangan antara sumber daya dan jumlah mahasiswa. Menurut teori pendidikan mana pun, jika antara jumlah yang diajar dan yang mengajar tidak seimbang, pasti tidak akan terselenggara pembelajaran yang baik.

Setelah pembubaran wisuda abal-abal di Jakarta, lalu inspeksi di Jawa Timur pekan lalu, kabarnya kemarin tim Anda melakukan hal serupa di Makassar. Apa yang Anda temukan di sana?

Kami menemukan banyak manipulasi data di sebuah pergurun tinggi yang memiliki lebih dari 20.000 mahasiswa, tetapi dosennya kurang dari 300 orang. Saat wisuda Juni 2015, data yang tervalidasi Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) 992 orang, tetapi data pada rekap laporan rektor menyebutkan 3.034 peserta, dan lain lagi jumlah wisudawan yang dipanggil ke depan arena saat wisuda berlangsung, yakni 3.874 plus sejumlah wisudawan dari program studi ilmu pertanian yang juga tak kami temukan dokumennya.

Jadi selisihnya yang bisa disebut sebagai wisudawan siluman itu tidak hanya dalam hitungan puluhan atau ratusan, tetapi ribuan. Itu yang kami telusuri, dan terkonfirmasi mereka tidak pernah melewati proses akademik yang bisa dipertanggungjawabkan, dari saat pendaftaran, proses perkuliahan, hingga wisuda.

Temuan lain di sana?

Ketika kami kunjungi selama dua hari, tak ada perkuliahan di sana. Berdasar pengakuan mahasiswa, mereka tetap mendapatkan nilai pada akhir semester sekalipun sepanjang satu semester tak pernah ada kuliah. Kalaupun ada, satu semester tidak sampai lima kali pertemuan. Itu pun yang mengajar kakak kelas mereka, mahasiswa, bukan dosen sebagaimana tercantum dalam jadwal yang mereka terima.

Terhadap mereka yang sudah mengantongi ijazah, diwisuda, tetapi belakangan diketahui abalabal, siapa mesti memberikan sanksi?

Yang lebih tepat memberikan sanksi adalah pengguna. Institusi yang menggunakan atau mempekerjakan orang itulah yang paling tepat memberikan sanksi. Kemristekdikti mengumumkan, sedangkan sanksi biar diambil institusi-istitusi itu. Lewat sebuah portal resmi, kami juga akan memublikasikan nama yang diwisuda itu agar masyarakat peduli.

Masyarakat bisa ambil bagian untuk turut mengawasi perguruan tinggi nakal?

Bisa. Selama ini pun kami sangat terbantu oleh laporan masyarakat. Justru kami kewalahan karena saking banyak laporan dari masyarakat. Silakan melapor ke laman lapormenteri.ristekdikti.go.id. Kami pasti akan merespons. (Gunawan Budi Susanto-51)

Sumber: http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/supriadi-rustad-masyarakat-yang-sakit-lahirkan-pts-abal-abal/ (upload: 4 Oktober 2015 1:24 WIB)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *