Membasuh Muka Pilrek dari Wajah Pilkada: Sebuah Pelajaran dari UHO

Kegaduhan pada pemilihan rektor (pilrek) sejumlah perguruan tinggi semakin menggejala seiring dengan keterbukaan informasi dan kian riuhnya pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (pilkada). Ada kecenderungan pilrek meniru pola dan gaya pilkada dengan segenap pernak-perniknya, termasuk dengan kehadiran tim sukses dan pemanfaatan jasa pengerah massa menjelang hari H. Pemilihan bahkan sudah mulai melibatkan investor “asing”.

Alih-alih menjadi pelopor pembangunan demokrasi, sejumlah perguruan tinggi bahkan telah gagal karena cenderung menjadi pengekor praktik demokrasi yang kurang baik. Mudah ditebak, ujung dari segala keterlibatan eksternal pada pilrek adalah kepentingan klasik: memperebutkan “uang negara”. Wajar jika akhir tahun lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menunjukkan perhatiannya terhadap pilrek. Toh sudah banyak bukti bahwa peringatan dini dari institusi ini hampir selalu terbukti di kemudian hari.

Peraturan tentang pilrek memang telah berubah, namun saya menilai perbaikannya tidak menyentuh substansi persoalan yang sebenarnya sering terjadi. Tulisan ini berisi pokok pikiran yang diharapkan dapat melengkapi upaya perbaikan proses pemilihan rektor di perguruan tinggi, terutama pada perguruan tinggi yang “belum dewasa” dan rawan konflik. Untuk perguruan tinggi yang sudah matang, yakni ketika peran academic leader begitu kuat, pokok pikiran ini tidaklah diperlukan.  Sudah tentu pokok pikiran ini perlu dikaji dan diuji sebelum dijadikan masukan, baik pada tataran implementasi maupun regulasi.

Sebagaimana pernah saya sebut pada tulisan sebelumnya, netralitas merupakan faktor kunci di dalam menata langkah pemilihan rektor Universitas Halu Oleo (UHO) 2017-2021o –tempat saya ditugasi sebagai pelaksana tugas rektor. Pendapat ini saya kira juga berlaku di setiap hajatan demokrasi mana pun, karena netralitas merupakan simbol keadilan yang mendatangkan rasa tenteram di hati  peserta demokrasi. Ketika rasa tenteram sudah menyelimuti suasana kampus, pemilihan akan berlangsung mulus tanpa meninggalkan ekses yang tidak perlu.

Meski tetap dengan nada dan dinamika yang sangat tinggi, akhirnya penataan anggota senat UHO dapat diselesaikan dengan baik. Dari yang saya targetkan rampung 12 Januari 2017, ternyata molor hingga 9 Februari 2017.  Saya ikhlaskan saja waktu tambahan hampir sebulan, toh Allah telah menggantinya berupa kesabaran dan kearifan yang saya peroleh selama menyelesaikan konflik pemilihan anggota senat. Saya akhirnya lebih memahami karakter teman-teman di Kendari yang sejatinya sangat nyaman dengan pendekatan dari hati ke hati. Penyelesaian pemilihan anggota senat di Jurusan Antropologi FIB, beberapa jurusan di FKIP, dan Jurusan Pertambangan yang sempat berlarut, justru bisa diselesaikan dengan pendekatan ini. Sangat sering saya mendengar pernyataan bahwa pada dasarnya teman-teman yang sedang berkonflik sangat menghormati apa pun keputusan pelaksana tugas rektor. Saya yakin ini buah dari netralitas yang sudah terbangun.

Secara resmi himpunan senat UHO telah didefinisikan tanpa keraguan. Melalui Keputusan Menteri Ristekdikti No. 147/M/KPT. KP/2017 Tanggal 21 Februari 2017 telah ditetapkan pengangkatan Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat UHO 2015-2019 dengan total anggota senat 101 orang.  Sebagai pelaksana tugas, saya sangat bergembira karena dua hal. Pertama, keputusan menteri tersebut seratus persen menyetujui usulan pelaksana tugas tanpa perubahan dan intervensi. Kedua, setidaknya hingga saat artikel ini ditulis, saya belum mendengar ada anggota keluarga besar UHO yang mengajukan keberatan terhadap substansi surat keputusan tersebut. Memang ada permintaan penjelasan terhadap kenggotaan 4 orang senat, namun itu berasal dari institusi eksternal yang belum diketahui hubungan kepentingan dengan sivitas akademika UHO.

Rapat perdana senat UHO pada 23 Februari 2017 dapat dibilang berjalan lancar dan sukses. Tingkat kehadiran anggota sangat tinggi. Rapat dihadiri 98 anggota senat, dan hanya tiga orang yang berhalangan hadir karena satu orang menunaikan ibadah umrah, satu orang sakit , dan satu orang sedang menunggui keluarganya yang sakit. Sejak awal saya sudah merencanakan untuk memberikan pengantar rapat dengan satu tujuan, yaitu menurunkan tensi dan sentimen negatif antarkelompok. Melalui beberapa tayangan video clip tentang soft skill, suasana rapat mulai mencair. Saya tidak menduga secepat itu senat kemudian menyetujui konsep yang diajukan pelaksana tugas tentang kepanitiaan dan agenda pilrek –nyaris  tanpa perubahan yang berarti. Alhamdulillah.

Menjaga Netralitas

Luka lama dan sisa-sisa persoalan masa lalu masih teramati. Hal itu tampak ketika saya melontarkan tawaran agar senat mengusulkan nama-nama yang akan duduk di kepanitiaan. Ketika hal ini di-floor-kan oleh ketua senat, secara spontan bangkit lagi perdebatan sengit di antara para anggota.

Setelah perdebatan tak berujung, barulah kemudian secara aklamasi senat menyerahkan kepanitian kepada pelaksana tugas. Agenda pilrek pun kemudian mengikuti jadwal yang telah saya siapkan dengan acuan pemilihan rektor bersama menteri dilaksanakan pada bulan Maret 2017. Ya, netralitas menjadi solusi kunci untuk komunitas yang sedang berkonflik.

Godaan terhadap netralitas, sungguh saya sadari dan rasakan. Saya yakin masyarakat UHO tahu benar bahwa pelaksana tugas tidak memiliki akses terhadap suara menteri, namun kompetisi untuk  mendapatkan perhatiannya tergolong sangat aktif. Dugaan saya, mungkin tampak dekat dengan pelaksana tugas akan membuat “grogi” para kompetitor, ya motif yang sangat sederhana. Pemahaman yang baik tentang peta kekuatan yang sedang berkompetisi akan sangat membantu pelaksana tugas memberikan perhatian yang adil dan berimbang.

Godaan netralitas dari eksternal juga nyata adanya. Belum genap sebulan  bertugas, pelaksana tugas sudah menerima panggilan dari institusi yang mengadvokasi keluhan masyarakat terhadap layanan birokrasi dengan tema mal-administrasi pengisian jabatan pelaksana tugas. Saya tidak tahu kebenarannya, namun saya mendengar di  masyarakat UHO  telah  terbentuk opini bahwa ada oknum institusi ini yang memiliki relasi fungsional dengan oknum peserta kompetisi pilrek. Dengan kondisi tersebut, demi menjaga netralitas, saya memutuskan untuk memilih tidak menghadiri panggilan, namun tetap menjalin komunikasi dengan institusi ini secara tertulis.

Bila seorang pendatang  bermukim tidak melapor kepada ketua RT, maka ia dapat dikatagorikan sebagai pendatang yang tidak sopan. Sebagai orang Jawa, ibu mendidik saya sangat keras  tentang sopan santun dan tata krama, namun saya harus ikhlas menyandang predikat tidak sopan. Di berbagai media  setempat, pemimpin daerah mengungkapkan kekecewaan dan kritik pedas  terhadap pelaksana tugas yang tidak segera menghadap dan melapor kepada pemilik wilayah. Sejatinya 7 Desember 2016 saya dengan Prof. Andi Bachrun (Rektor Unsultra) sudah merencanakan untuk lapor kepada bos, namun rencana ini saya tunda karena prioritas menjaga netralitas. Opini masyarakat UHO saya dengarkan baik-baik bahwa dalam konteks pilrek,  pemimpin wilayah merupakan sosok yang tidak netral. Saya menunda jadwal silaturahim dengan pemimpin wilayah dan rela dicap tidak sopan asal masyarakat UHO terjaga ketenteraman hatinya. Dalam konteks ini, saya cinta sopan santun tetapi lebih cinta netralitas. Saya cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan.

Teguran dari pemimpin wilayah malah membuat hati saya merasa enak. Dengan teguran itu, akhirnya saya memiliki “reasoning” yang kuat untuk silaturahim tanpa dicurigai teman-teman UHO telah memiliki agenda khusus dan  melakukan lobi tertentu. Akhirnya 2 Februari 2017, saya mengajak para wakil rektor “sowan” sang pemimpin. Pertemuan berlangsung santai meski harus menunggu sekira dua jam.

Untuk perguruan tinggi yang rawan konflik, kehadiran petugas kementerian sebagai representasi dari sosok netral sungguh sangat penting. Inilah yang mestinya diatur di dalam peraturan menteri tentang pemilihan rektor. Kehadiran petugas yang netral tidak perlu menunggu terjadi konflik parah sebagai solusi terakhir, tetapi memang  telah disiapkan oleh regulasi yang memungkinkan Menteri memiliki kewenangan menugasi tim untuk menyelenggarakan pemilihan rektor manakala ada indikasi gangguan netralitas di sebuah perguruan tinggi.

Tidak bisa dimungkiri bahwa “kekuasaan” rektor sebagai pemimpin perguruan tinggi sering melebihi proporsinya. Inilah yang menyebabkan gangguan netralitas rektor sebagai penyelenggara pemilihan. Oleh sebab itu, mengurangi “kekuasaan” yang berlebihan sudah harus menjadi tugas kementerian. Tim yang dibentuk oleh kementerian dapat menjadi katalisator netralitas dengan bekerja sama dengan rektor yang masih aktif.

Setidaknya ada empat tugas yang mesti dijalankan oleh tim. Pertama, tim memastikan himpunan anggota senat didefinisikan sesuai dengan statuta. Kedua, tim memastikan himpunan calon rektor didefinisikan sesuai dengan statuta. Ketiga, tim memastikan himpunan anggota kepanitian terdiri atas orang-orang yang independen. Ketiga tugas yang pertama ini substansinya melakukan “clearance” sebelum proses pemilihan agar tidak ada proses balik yang menggugat. Ada baiknya setiap ketiga tugas ini diakhiri dan  ditutup dengan berita acara “mengikat” yang ditandatangani oleh semua anggota senat, calon rector, dan panitia.  Keempat, tim mampu membangkitkan harapan kepada seluruh sivitas akademika. Acap kali terjadinya gugat-menggugat di pemilihan rektor berawal dari tertutupnya seseorang memiliki harapan.

Menyederhanakan Aturan

Peraturan Menteri tentang  pemilihan rektor perlu dievaluasi untuk disederhanakan. Semakin panjang tahapan pemilihan rektor akan kian besar peluang terjadi konflik. Semakin lama proses pemilihan rektor akan kian banyak manuver yang tidak sesuai dengan budaya akademik. Tahapan dan durasi pemilihan rector, menurut peraturan yang berlaku sekarang atau sebelumnya, tampak berpola seperti pemilihan kepala daerah. Ke depan, peraturan menteri yang mengatur tentang pemilihan rektor perlu disederhanakan  dengan mengurangi jumlah tahapan dan durasinya.

Sesuai dengan Permenristekdikti Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri, ada empat tahap pengangkatan rektor PTN, yaitu tahap (1) penjaringan bakal calon, (2) penyaringan calon, (3) pemilihan calon, dan (4) penetapan dan pelantikan. Dua tahap pertama menjadi domain senat universitas, sedangkan pemilihan sebagai tahapan terakhir sebelum penetapan dan pelantikan menjadi ranah senat bersama dengan Menteri. Tahap penjaringan bertujuan mendapatkan calon rektor yang sesuai dengan persyaratan. Pada tahap ini dipersyaratkan minimal ada 4 calon rektor yang mengikuti kompetisi. Semangatnya sangat bagus, yaitu mendorong sivitas akademika peduli pada perguruan tingginya.

Tahap selanjutnyanya penyaringan calon rektor menjadi 3 orang. Tahap ini tampaknya dimaksudkan agar kementerian memperoleh gambaran calon rektor terkait dengan keberterimaannya oleh senat universitas. Namun celakanya, justru pada tahapan ini sering mulai terjadi konflik. Ketika terpilih 3 calon rektor, polarisasi dan pertentangan antarkelompok mulai meruncing. Biasanya yang banyak bermanuver mengundang pengaruh eksternal adalah “si kecil”, maksudnya yang memperoleh suara lebih kecil. Acap kali pemilihan rektor diulang dari awal justru ketika si “kecil” berulah setelah mengetahui hasil “kecil”-nya setelah tahap penyaringan.  Setahu saya  di dunia bulutangkis, belum ada sejarahnya pemain yang kalah di set pertama kemudian memaksa wasit “lain” untuk mengulang pertandingan dari babak awal guna mengalahkan lawannya. Seorang pemain bulutangkis sejati, baik yang menang maupun kalah di set pertama, tidak mungkin melakukan permainan “haram” seperti itu.

Menurut pendapat saya, tahap penyaringan (2) tidak diperlukan, lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Penyaringan menjadi 3 calon dimaksudkan agar kementerian tidak repot melakukan evaluasi yang kelak menjadi bahan pertimbangan Menteri memberikan suaranya pada tahap pemilihan. Namun menyaring menjadi  3 calon menguatkan tensi dan potensi konflik antarcalon dan pendukungnya. Usulan saya, sebuah pemilihan rektor terdiri atas dua tahap saja, yaitu pemetaan dan pemilihan bersama Menteri. Pada tahap pemetaan, senat dapat mengusulkan 6 hingga 10 calon rektor. Sungguh relatif  tidak ada kerepotan berarti ketika kementerian harus menilai 6-10 calon dibandingkan, misalnya, dengan mengurusi konflik antarkelompok.

Durasi pemilihan rektor tidak perlu selama seperti sekarang dengan total waktu 6 bulan. Menurut saya, durasi 2 bulan sudah sangat mencukupi, terutama rentang waktu antara tahap pemetaan dan pemilihan tidak melebihi 2 minggu. Persyaratan administrasi banyak yang sesungguhnya tidak diperlukan. Semakin panjang durasi tahap pemilihan semakin besar terjadi “masuk angin”, terutama ketika Menteri tidak cukup punya kedaulatan atas jabatan yang diembannya. Bisa dibayangkan ketika seorang Menteri harus mensintesiskan permintaan para pemimpin, organisasi masyarakat dan politik, serta institusi lain yang punya kekuatan menekan, yang tentunya membawa kepentingan yang berbeda-beda.

Perubahan berikutnya adalah meletakkan pemilihan rektor sebagai bagian dari pembangunan budaya akademik. Sebagai pelaksana tugas rektor UHO, saya melarang calon rektor menggelar pertemuan di luar kampus, apalagi menghadirkan tokoh eksternal. Saya juga melarang para wakil rektor menghadiri undangan calon rektor di mana pun pertemuan itu dilaksanakan. Alhamdulillah, teman-teman wakil rektor UHO –hingga  tulisan ini dibuat– mematuhi instruksi. Imbauan yang sama juga saya sampaikan kepada dekan dan ketua lembaga, yang sejauh pengamatan saya telah diikuti dengan baik.

Dengan pengondisian ini, suasana penyaringan calon rektor UHO tanggal 16 Maret 2017 kemarin tampak sangat rileks dan lumayan penuh canda-tawa yang menggembirakan. Hingga rapat ditutup, suasana sangat cair meski tetap ada sejumlah raut sedih. Saya mengingatkan bahwa penyaringan ini merupakan set pertama. Di dunia bulutangkis, kemenangan di set pertama tidak selalu menjadi jaminan bisa memenangi set kedua, yaitu pemilihan bersama Menteri.

Ketegangan justru menyelimuti suasana hari sebelumnya pada sesi paparan visi misi, 15 Maret 2017. Di luar auditorium, dua kelompok pelaksana aksi saling beradu suara yang keluar dari pengeras masing-masing, juga berkompetisi dengan suara para calon yang menyampaikan paparan di dalam gedung. Saya bersyukur  telah beradaptasi dengan suasana seperti itu, dan mengajak dirjen Kelembagaan Dr. Patdono menemui peserta aksi. Alhamdulillah massa membubarkan diri setelah petisi nya diterima dirjen, tak lama kemudian mereka terlihat makan siang di pojok kantin.

Sekitar jam 14.00 saya meluncur menemui Kapolda Sultra yang asli Madura untuk mendapatkan pengamanan pada acara penyaringan esoknya. Meski diwarnai isu akan ada unjuk rasa besar-besar, berkat pendekatan personal terhadap peserta aksi semalaman dan kerja sama yang baik dengan Polda, Korem, dan satuan pengamanan, acara penyaringan pada Kamis 16 Maret 2017 berlangsung damai sehingga suasana rapat senat di dalam gedung menjadi sangat “adem”.

Di dalam sejarah pemilihan rektor, suara menteri susah ditebak. Sebagai pelaku yang cukup sering ditugasi sebagai utusan Menteri, saya mengamati suara tersebut memiliki spektrum lebar dengan distribusi frekuensi yang acak, nyaris tanpa pola. Menerka dan meramal suara Menteri adalah kesia-sian. Siapa pun menterinya, yang pasti ia sangat tidak suka jika kedaulatannya diintervensi oleh eksternal. Nasihat untuk calon rektor, berserah diri sajalah. Kalau memang jodoh, tidak akan ke mana.

Supriadi Rustad, Tim Evaluasi Kinerja Akademik Perguruan Tinggi Kemenristekdikti, Pelaksana Tugas Rektor Universitas Haluoleo (UHO) 2016-2017.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *