Syahdan di sebuah negeri Atas Angin, seorang pejabat kerajaan melaporkan kepada Mahapatih Karna Yaksa Mahendra bahwa telah terjadi jual beli kekancingan (Ijazah/SK) di antara punggawa keraton.
Akibat dari praktek itu rakyat menjadi malas, tidak mau menuntut ilmu dan berlatih keras di perguruan karena kekancingan sebagai syarat pekerjaan dan jabatan dapat diperoleh dengan cara menyogok dan menyuap. Sang Mahapatih tak segera menanggapi. Suasana perguruan dan pendadaran pun menjadi “sepi” karena nyaris tidak ada orang yang mau bersusah payah belajar kepada para pujangga dan mahaguru.
Runtuhnya pendidikan menjadi tanda hancurnya suatu bangsa. Di gerbang masuk salah satu perguruan tinggi di Afrika Selatan tertulis sebuah pesan sederhana namun mendalam dari seorang dosen senior, “ Kini, menghancurkan suatu negara/bangsa tidak perlu menggunakan bom atom atau rudal, tetapi cukup membiarkan terjadinya penuruan kualitas pendidikan dan membiarkan perilaku menyontek dan menjiplak merajalela”.
Sesama rumpun bangsa, ada bangsa maju dan ada bangsa yang tidak maju-maju. Para pejabat bangsa yang maju umumnya sangat peduli membangun karakter bangsanya meski pada hal-hal kecil sekalipun. Di negeri Singa, meludah sembarangan di tempat umum bisa berususan dengan pihak berwajib. Demikian juga di negeri Kuda, umat yang kedapatan tidak beribadah ketika waktunya beribadah bisa ditangkap aparat. Sementara lain lagi cerita di negeri Badak yang tidak maju-maju, perbuatan mencontek, menjiplak hingga jual-beli ijazah sangat mungkin dibiarkan.
Pembiaran adalah sifat umum dari masyarakat yang kurang bertanggungjawab. Akibat pembiaran terhadap bangunan yang tumbuh di lahan yang tidak memiliki izin resmi di masa lalu, terjadilah kemudian penggusuran-penggusuran yang acap kali memakan ongkos sosial yang sangat tinggi. Ketika pembiaran itu diperankan oleh pejabat pemerintah yang sedang memegang amanah, maka dapat dibayangkan betapa kering karakter bertanggung jawab masyarakat yang dipimpinnya.
Di negara yang pendidikannya tidak bermutu, orang sakit memilih berobat ke negara tetangga karena sangat takut ditangani oleh dokter yang lulusnya melalui cara menyontek atau lulus uji kompetensi dokter melalui jasa bimbingan tes. Banyak dokter mengeluarkan resep obat yang sejatinya tidak dibutuhkan oleh pasien demi mengejar target bonus dari perusahaan obat. Kerusakan mental separah ini sejatinya bermula dari hal yang sangat sederhana pada proses sebelumnya, yaitu membiarkan berbagai praktek kecurangan akademik terjadi.
Di negara yang tidak maju-maju, terjadi kasus jual beli jabatan dengan omzet miliaran rupiah. Iseng mencermati riwayat pendidikan pelakunya, oh…pantas, layak diduga yang bersangkutan lulus kuliah dengan proses yang dipalsukan. Mengikuti beberapa nama yang sudah diumumkan oleh institusi anti rasuah dan beberapa nama yang terbukti menyelenggarakan wisuda illegal, memang terdapat benang merah yang bisa dijelaskan melalui latar pendidikan tingginya yang kelam.
Mungkin banyak yang beranggapan bahwa “pembiaran” itu bukan pelanggaran karena si pembiar tidak aktif melakukan perbuatan. Di sinilah rupanya masyarakat memiliki sikap permisif kepada para pembiar. Memang para pembiar ini umumnya tidak terkena dampak langsung dari pembiaran, namun generasi berikutnya, anak cuculah, yang menanggung akibatnya. Inilah peran sentral pimpinan di dalam membangun karakter bangsanya.
Gawat Darurat Kelas jauh
Belum lama ini Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) perguruan Tinggi ditugaskan untuk meneliti kemungkinan adanya program doktor “kelas jauh” dari suatu perguruan tinggi. Tidak sedikit yang menyangsikan tentang kebenaran isu “kelas jauh” ini, tetapi hasil penelitian tim menyatakan bahwa praktek tersebut nyata adanya dan bahkan sudah berada pada status “gawat darurat”. Praktek ini harus dihentikan segera karena membahayakan masa depan bangsa, anak cucu kita.
Karena membuka cabang di berbagai provinsi atau kota, maka tidak berlebihan jika program doktor tadi termasuk dalam katagori waralaba pendidikan doktor. Hasil penelusuran tim terhadap sampel cabang, registrasi akademik dan keuangan dilakukan oleh pengelola cabang atau pengepul dan kemudian pengelola cabang membayar fee kepada perguruan tinggi induk. Beaya pendidikan dari peserta disetor ke rekening “kantor cabang”, 2/3 bagian digunakan untuk operasional penyelenggaraan dan yang 1/3 bagian lainnya disetor kepada perguruan tinggi induk baik melalui bank maupun non bank (manual).
Sebagian besar perkuliahan dilaksanakan di kantor cabang oleh pengampu dosen lokal, sedangkan peserta umumnya mengaku datang kuliah ke perguruan tinggi induk hanya 2 kali per semester yang dihitung 4 kali pertemuan untuk seluruh matakuliah yang diambil pada semester itu. Ujian tertutup pun juga dilakukan di kantor cabang. Sejumlah peserta lulus tepat waktu yaitu dalam tempo 3 tahun.
Ada perbedaan yang sistematis antara data di perguruan tinggi induk dan data di pengelola cabang. Data tahun masuk peserta yang tercatat di sistem perguruan tinggi induk rata-rata maju 1 tahun lebih awal dari data tahun masuk riil yang terdaftar di kantor cabang. Mereka yang disebut lulus tepat waktu di atas adalah mereka yang menyelesaikan studinya selama 3 tahun waktu (riil), namun tercatat menyelesaikan studi dalam waktu 4 tahun (manipulatif) versi perguruan tinggi induk yang dilaporkan ke PD Dikti.
Upaya mengelabuhi tahun masuk peserta merupakan tindakan ceroboh yang sangat berbahaya. Meski kemudian di PD Dikti masa studi peserta berkesan “wajar”, namun data akademik semacam ini jelas tidak sinkron dengan data keuangan, kalau itu ada. Miris rasanya menyaksikan kaum intelektual bertindak amat sembrono terhadap institusinya.
Seperti halnya Starbucks atau waralaba yang lain, program doktor model waralaba ini membuka cabang di hampir seluruh belahan negeri. Di wilayah Sumatra, tercatat cabang Palembang 1, Palembang 2, Padang, Bengkulu 1, Bengkulu 2, Riau, Tanjung Pinang dan Medan. Meski ada di kota yang sama, saya memberi nama berbeda untuk pengelola cabang atau kelompok pembayaran yang berbeda. Jumlah peserta tiap cabang berkisar antara 30 hingga 60 orang. Data pengelolaan di Bengkulu menunjukkan bahwa pernah terjadi ujian tertutup di kantor cabang sejumlah 5 orang peserta calon doktor dalam satu hari yang sama oleh promotor dan penguji yang sama. Meski memiliki banyak kelas cabang, namun dosen perguruan tinggi induk yang tercatat terlibat mengajar hanya sekitar 10 hingga 15 orang.
Saya sangat bersyukur tidak menemukan cabang di Aceh. Bagi saya modal utama rakyat Aceh bangkit dari dampak konflik dan bencana adalah pendidikan yang berkualitas. Alhamdulillah, Allah melindungi saudara kita yang di Aceh karena tidak disinggahi waralaba ini. Lebih bersyukur lagi kini saya menyaksikan dari daerah ini telah muncul bintang baru di kancah elit nasional, Unsyiah. Ke depan kementerian mestinya memberi peran yang lebih besar kepada Unsyiah dan mendorong perguruan tinggi ini ke tingkat daya saing yang lebih tinggi. Program dengan kriteria “khusus” bisa dihibahkan kepada perguruan tinggi yang telah menunjukkan prestasi kinerja akademiknya ini.
Meski jumlah cabangnya lebih sedikit dari yang di Sumatra, namun secara keseluruhan jumlah peserta di Pulau Kalimantan tidak kalah banyak. Cabang-cabang itu ada di Banjarmasin, Tanjung Pura, Palangkaraya dan Samarinda. Mohon maaf yang sebesar-besarnya, dengan sangat menyesal hingga saat ini saya belum bisa memperoleh data dan argumentasi untuk menyebut satu perguruan tinggi di Pulau terbesar ini telah menapaki tingkat nasional. Saya tidak tahu pasti apakah ini disebabkan pengaruh pendidikan model waralaba yang membuat terlena teman-teman di daerah ini.
Di Pulau Sulawesi saya tidak menemukan cabang di Makasar, mungkin segan dengan Unhas yang sudah berada di jajaran atas nasional. Tercatat ada kelas di Kendari 1, kendari 2, Gorontalo, Manado 1, Manado 2 dan melebar ke Manokwari. Kebetulan di daerah-daerah yang disinggahi waralaba pendidikan doktor di daerah ini saya juga belum bisa menyebutkan satu perguruan tinggi yang memimpin di tingkat nasional. Semoga ada koreksi dari para kolega.
Seperti sumpah Amukti Palapa Maha Patih Gajahmada, waralaba pendidikan doktor yang sama juga merambah Bali dan Lombok. Tercatat cabang di Singaraja, Mataram 1 dan Mataram 2. Selain itu juga tercatat ada cabang tanpa identitas daerah tetapi identitas profesi seperti kelas widyaiswara (lumayan gemuk) dan seterusnya yang saya tidak tega menyebutnya.
Pada tahun 2014, mendampingi Dirjen Dikti ketika itu Prof. Djoko Santoso (ITB) dan bersama Dr. John Pariwono (IPB), saya mengunjungi National Tsing Hua University di Taiwan. Sepanjang perjalanan dari Taipei ke Hsinchu kami berkelakar dengan kolega Taiwan tentang ukuran sebuah kota bisa disebut sebagai kota besar dan maju. Setelah berdebat panjang secara guyonan akhirnya kami bersepakat bulat ukurannya adalah Starbucks. Keberadaan waralaba itu menjadi ikon kemajuan suatu daerah. Hanya kota besar saja yang disinggahi waralaba itu.
Lantas bagaimana kontribusi keberadaan waralaba pendidikan doktor?. Tampaknya kita harus berhitung sangat cermat, namun polarisasi pilihan menjadi jelas. Ia menjadi bagian dari kemajuan pendidikan tinggi kita atau sebaliknya ia menjadi bagian yang turut menghancurkan peradaban bangsa ini?.
Supriadi Rustad, Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Perguruan Tinggi, Kemenristekdikti, Pelaksana Tugas Rektor Universitas Halu Oleo, Kendari