Sewaktu muda saya pernah “kesetrum”. Sengatan listrik semacam itu telah menghasilkan efek kejut yang menggetarkan, tidak saja pada tubuh secara fisik tetapi juga otak pengendali pikiran. Secara cepat mulailah otak ini belajar tentang segala hal yang berkaitan dengan sengatan itu. Sejumlah ilmu baru pun mengalir cepat masuk ke kepala.
Di ujung tahun lalu saya tersengat “listrik akademik”. Sebuah universitas besar tiba-tiba dan seperti membabi buta menerbitkan pedoman akademik yang membolehkan kemiripan karya ilmiah mahasiswa hingga 50 %. Kebijakan itu tertuang pada Keputusan Rektor No 12xx/xx/2016. Ya, ini ilmu baru yang menggetarkan dunia karena belum pernah dijumpai di belahan bumi manapun kecuali di Negara Atas Angin yang terkenal elok itu.
Hampir bersamaan dengan selesainya penulisan alenia di atas, masuk postingan dari sejawat Prof. Fuad Abdul Hamid (UPI) tentang kearifan di Afrika Selatan. Konon kutipan berikut ini terpampang di gerbang sebuah kampus di sana. “Collapsing any nation does not require the use of atomic bombs or the use of long range missiles. It only requires lowering the quality of education and allowing cheating in the examinations by the students”. Kok beda sekali ya kearifan kedua negara?. Yang satu, pesan moral mulia dipampang di gerbang, sedang satunya lagi pesan moral …tor dirumuskan di Surat Keputusan Rektor.
Saya baru mengetahui sekarang bahwa tindak plagiat di negeri Atas Angin ternyata ada dua jenis, yaitu tindak plagiat yang dilarang dan yang “dilindungi”. Saya yakin tindak plagiat jenis kedua ini adalah tacit knowledge yang tumbuh di tengah praktik penyelenggaraan pendidikan tinggi dan belum memiliki rujukan teoritis yang sahih. Oleh karena itu pada tulisan ini saya mencoba membangun teori yang mendasari lahirnya tindak plagiat yang dihalalkan tersebut.
Tindak plagiat pernah terjadi di sejumlah perguruan tinggi baik besar, sedang maupun kecil. Pada tahun 2000-an, sebuah perguruan tinggi di Bandung pernah menjatuhkan sanksi pembatalan ijazah doktor kepada lulusannya. Demikian pula pada tahun 2012, sebuah perguruan tinggi di Riau pernah mengusulkan kepada Menteri tentang pencabutan jabatan profesor seorang dosen yang diketahui kemudian melakukan penjiplakan karya ilmiah.
Dari sejumlah kasus yang ditemui, saya berkesimpulan bahwa ketegasan sikap menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak plagiat sangat ditentukan oleh tingkat paripurna layanan akademik yang diberikan perguruan tinggi itu kepada sivitas akademikanya. Sikap anti terhadap perbuatan plagiat bukan hanya menghiasi lembar disertasi tetapi merupakan cerminan bahwa perguruan tinggi telah memenuhi kewajiban menyediakan suasana akademik yang dibutuhkan mahasiswa. Di dalam konteks ini, penjatuhan sanksi tidak semata berfungsi sebagai hukuman kepada mereka yang melanggar, tetapi juga sebuah “treatment” khusus lainnya kepada mereka yang terbukti mengkhianati budaya akademik dan melakukan penipuan terhadap institusinya.
Pada komunitas perguruan tinggi yang paripurna layanan akademiknya, perbuatan plagiat merupakan perbuatan terlarang dan haram yang sangat jelas hitam dan putihnya. Para penegak etika perguruan tinggi umumnya merasa tersinggung dan menganggap pelaku tindak plagiat sebagai penipu kelas berat yang tidak akan mendapatkan tempat sejengkalpun. Mereka yang terbukti melakukan tindak plagiat dan dijatuhi sanksi, dijamin tidak akan memiliki amunisi apapun untuk menggugat balik alamamaternya.
Pemberian toleransi kepada perbuatan plagiat hingga mencapai 50% bisa dijelaskan dengan beberapa pendekatan. Pertama, angka persentase itu merupakan reaksi atas temuan Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) yang suatu ketika pernah menyebut salah satu sampel disertasi memiliki kemiripan 48 %. Untuk mengamankan pelaku, maka universitas itu kemudian mengubah pedoman akademiknya dengan mencantumkan batas kemiripan 50%. Meski batas tersebut tergolong angka yang fantastis, namun toh masih ada sejumlah disertasi lagi yang tingkat kemiripannya di atas angka tersebut.
Kedua, pemberian ruang kepada tindak plagiat meski itu tetap bertentangan dengan lembar pernyataan anti plagiat yang ada di bagian depan disertasi, merupakan bentuk pengakuan bahwa perguruan tinggi itu tidak memberikan layanan akademik sesuai dengan standar minimal. Perlindungan terhadap tindak plagiat merupakan kompensasi dari nihilnya proses perkuliahan dan pembimbingan. Mereka yang nantinya dijatuhi sanksi memiliki modal kuat untuk menggugat alamamater yang terbukti tidak menyediakan layanan akademik sebagaimana mestinya. Misalnya, idealnya naskah disertasi itu dibaca oleh pembimbing dan promotor, maka si pelaku tindak plagiat memiliki kartu As untuk memperkarakan jika ternyata para beliau itu terlalu sibuk untuk membaca disertasinya.
Ketiga, toleransi tindak plagiat itu terpaksa dilakukan karena adanya “deal” tertentu baik secara finansial atau politik. Kesepakatan semacam itu kalau memang pernah dijalankan, kemungkinan besar bukan untuk kepentingan institusi, melainkan untuk kepentingan perorangan/kelompok. Jika itu yang terjadi, maka telah terjadi pelanggaran serius terhadap prinsip nirlaba pendidikan tinggi.
Kelemahan universitas ini di dalam memberikan layanan akademik kepada mahasiswa program khusus tersebut begitu menganga. Nihilnya perkuliahan sudah saya bahas pada tulisan sebelumnya dan begitu nyata. Saya tegaskan kembali, tidak mungkin pejabat setingkat gubernur beserta eselon 1 dan eselon 2 bisa kuliah di kota yang berjarak 2 hari perjalanan pulang-pergi dari kota tempat bertugas/berdomisili dan lulus summa cumlaude hanya dalam waktu 2 tahun.
Nihilnya pembimbingan dapat diikuti pada paragraf berikut yang merupakan paragraf di bab metode penelitian (halaman 88) dari disertasi a.n XXX yang lulus pada bulan Agustus 2016.
“Menurut Rossi dan Freeman (1980), penelitian evaluasi adalah penerapan sistematis dari prosedur penelitian sosial dalam menilai konseptualisasi dan rancangan, pelaksanaan, dan kegunaan program. Dari definisi ini maka ada tiga fokus evaluasi: Pertama, evaluasi terhadap rancangan program yaitu, bagaimana rancangan program desa binaan hendak direncanakan. Alasan yang mendasarinya, kemungkinan keberhasilannya, bagaimana biayanya, proyeksi keuntungan, dan tingkat efektivitasnya. Kedua,…”.
Silahkan pembaca mencermati frasa desa binaan (dicetak tebal) terselip di alenia di atas. Saya menyatakan terselip karena disertasi itu membahas program Keluarga Berencana di suatu Kota dan tidak ada hubungannya dengan desa binaan. Kejanggalan berikutnya adalah kalimat yang dicetak tebal “Alasan yang mendasarinya …” yang secara nyata bukan kalimat lengkap sehingga tidak memiliki makna.
Paragraf yang benar adalah sebagaimana tertulis pada skripsi a.n Rahayu Handayani (FT UI, 2012, halaman 49) berikut ini.
“…Pertama, evaluasi terhadap rancangan program yaitu, bagaimana rancangan program hendak direncanakan, alasan yang mendasarinya, kemungkinan keberhasilannya, bagaimana biayanya, proyeksi keuntungan, dan tingkat efektivitasnya…”.
Lantas kenapa paragraf suatu disertasi itu penuh kekacauan semacam itu terutama jika dibandingkan dengan paragraf skripsi S1?. Jawabnya adalah karena sang doktor atau mungkin bawahan yang ditugasi mengambil langsung dari sumber salah di media online (Metode Penelitian Evaluasi ((https://sinaukomunikasi.wordpress.com/…/metode-penelitian-evalu…).
Saya yakin si doktor beserta pembimbing dan promotor tidak pernah membaca paragraf itu. Inilah yang saya maksud dengan indikasi nihilnya pembimbingan yang kemudian melahirkan sikap toleran terhadap tindak plagiat. Anehnya, pembimbing dan promotor model begini dengan tanpa rasa malu akan menggugat kementerian dengan argumentasi bahwa pedoman akdemiknya baru saja diubah sehingga membolehkan karya ilmiah memiliki kemiripan berkisar 40-50% (?).
Alhamdulillah, sikap ngeyel pimpinan PT itu ada hikmahnya buat Tim Eka. Saya mengamati motivasi kawan-kawan untuk membongkar kasus ini sangat tinggi. Semakin PT itu mengingkari, semakin tinggi semangat Tim untuk membuktikan sedetil-detilnya. Satu per satu disertasi itu kami bahas rame-rame. Bab demi bab, paragraf demi paragraf dan kalimat demi kalimat kami pelajari “suasana kebatinan” saat pembuatannya. Saya sengaja mengungkapnya di forum ini agar perguruan tinggi tersebut segera menyerah dan menerima hasil Tim Eka sebagaimana yang pernah di tandatangani bersama.
Menikmati satu disertasi yang membahas Keluarga Berencana membuat dahi saya senam gangnam, Akhirnya saya niatkan tidak ingin memahami substansi disertasi, takut sakit kepala, tetapi fokus mendalami kejiwaan penulisnya. Kadang bahasanya mirip bahasa ilmuwan beneran, namun kadang kalimatnya kacau balau, bahkan seringkali bahasanya seperti ditulis bukan oleh anak sekolahan.
Ternyata sang doktor menulis disertasi dengan tiga gaya bahasa, yaitu gaya brandal Lokajaya (sikat habis), gaya dewa mabok (acak-adut) dan gaya luar sekolah. Meski bukan pakar linguistik, namun saya bisa merasakan pada disertasi tersebut di atas setidaknya ada 3 jenis paragraf/kalimat yang berbeda. Pertama, paragraf/kalimat yang bagus susunan kalimat/katanya. Umumnya paragraf/kalimat jenis ini diduga berasal dari hasil copas secara sempurna dari sumber yang benar, Contohnya adalah pada bab 4 halaman 132-148 (16 halaman) yang sebagaian besar diduga hasil copas dari sebuah Renstra. Kedua, paragraf/kalimat yang sangat kacau susunan kalimat/katanya. Jenis kedua ini merupakan hasil copas dan edit yang tidak sempurna dari sumber yang benar atau tidak benar sebagaimana disinggung di depan.
Ketiga, paragraf/kalimat yang kemungkinan orisinil buatan sang doktor atau bawahannya, tetapi kualitasnya sangat jelek. Berikut ini contohnya pada Bab 4 halaman 152.
“Beberapa keterangan yang diperoleh dari narasumber yang ditemui di lapangan menjelaskan bahwa Sumber Daya Manusia yang tersedia sudah memahami tugas pokok dan fungsinya, tenaga pengelola harus ada kemampuan dalam program ini. Dengan demikian tenaga pengelola itu sudah ahli dan sudah berpengalaman dalam tingkat bawah dalam menangani Program KB mulai dari memberi informasi-informasi dan konseling kepada masyarakat yang ingin mengikuti Program KB Bahteramas. Tenaga tersebut harus betul-betul memahami Program KB yang berpengalaman, dan juga berdomisili di sini. “
Atau paragraf berikut ini.
“Petugas Pengelola KB Bahteramas idealnya masing-masing memberikan pelayanan disetiap kelurahan namun demikian kondisi dilapangan menunjukan bahwa tidak semua petugas melayani setiap Kelurahan. Tetapi melayani lebih dari 1 (satu) Kelurahan. Petugas lapangan peserta KB yang seperti Pegawai Negeri Sipil ada yang disini ada 2 macam di Kelurahan. Sub PPKBD itu dibawahnya PPKBD itu SK dari Camat dan Walikota. Untuk Bidan sudah terlatih. Pejabat sudah terlatih, dan juga petugas lapangan yang mengabdi di sini.“
Menurut saya, tim pembimbing dan promotor dari doktor demikian layak ditinjau ulang keprofesorannya. Dari pada mengevaluasi kinerja profesor terkait dengan pemberian tunjangan sebagaimana diatur oleh Permenristekdikti no 20 Tahun 2016 yang penuh kontroversi itu, lebih baik Menteri mengevaluasi dan menindak tegas profesor yang ‘jual -beli” ijazah dengan cara ini. Dari pada mewajibkan semua kendaraan memiliki sertifikat uji emisi, lebih baik polisi menangkap kendaraan yang menebar asap tebal di jalanan, membawanya ke laut dan menenggelamkannya.
Bagi Tim EKA, tindak plagiat itu benar terjadi, begitu nyata dan gamblang. Saya mengapresiasi sikap ekstra hati-hati kementerian menangani kasus ini. Konon kementerian telah membentuk Tim Independen untuk melakukan penilaian atas tindak plagiat yang terjadi. Akan menjadi pelajaran yang bernas bagi komunitas pendidikan tinggi jika hasil analisis dari perguruan tinggi yang bersangkutan, analisis Tim EKA dan analisis Tim Independen dipersandingkan secara terbuka pada domain publik.
Supriadi Rustad, Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Perguruan Tinggi, Kemenristekdikti, Pelaksana Tugas Rektor Universitas Halu Oleo (2016-2017, Kendari.