Banyak pembaca terkecoh oleh tulisan sebelumnya dengan judul di atas (RUK) yang seolah-olah fokus mengkritisi tindak plagiat di perguruan tinggi (PT). Tindak plagiat merupakan persoalan etika yang menjadi urusan keseharian PT. Saya berpendapat tidak ada hal yang teramat istimewa membicarakan tema tersebut , kecuali pada kasus plagiat yang justru dibela jungkir-balik dengan berbagai macam kebohongan oleh PT nya.
Keterbukaan ternyata dapat memicu kecerdasan. Ini kecerdasan asli khas PT di negeri Atas Angin dan tidak dimiliki oleh mahasiswa manapun di kolong jagad ini. Sehabis ujian akhir semester (UAS), sebagai dosen anda mengumumkan nilai mahasiswa, ada mahasiswa yang lulus dan ada pula yang tidak lulus. Paralel dengan yudisium, anda mengumumkan pula solusi atas soal UAS kemarin sebagai bentuk pertanggungjawaban publik atas penilaian terhadap prestasi mahasiswa.
Dosen manapun tentu tidak pernah membayangkan ada seorang mahasiswa super jenius di antara mahasiswa yang semester lalu telah dinyatakan tidak lulus. Ia mendatangi dan memprotes anda pada semester berikutnya dengan argumen bahwa lembar jawaban yang ia kumpulkan pada ujian lalu adalah lembar ujian yang salah. Ya, boleh jadi ia mahasiswa super jenius yang telah berhasil menemukan reaksi kimia antara kejujuran air dan kebohongan minyak.
Setelah berbagai analisis tindak plagiat tak terbantahkan mengudara di ruang publik, kini PT tersebut bertambah cerdas. Pada hari Senin tanggal 19 Juni jam 21.01 yang lalu, seorang pejabat teras kementerian menelepon dan meniupkan sebuah berita. Konon PT tersebut telah mencapai puncak kecerdasan terkini yaitu sedang menyiapkan argumen bahwa dokumen disertasi yang tahun lalu disubmit oleh Direktur Pascasarjana kepada Tim EKA adalah dokumen yang salah.
Saat ini Tim Independen yang dibentuk oleh Kementerian sedang berburu disertasi versi terbaru. Artinya di PT ini ada dokumen disertasi versi lain yang lebih baru daripada yang disubmit kepada Tim EKA sebelumnya. Mungkin sekarang PT sedang ngebut bikin disertasi baru dan mungkin juga nanti akan muncul disertasi versi terbaru lain lagi jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Sungguh sebuah cara berfikir yang cerdas, kreatif dan out of the box, dan bisa dibilang super jenius.
Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) PT sangat konsen pada praktik jual-beli ijazah (fake diploma), bukan hal lain. Perjuangan Tim EKA sangat jelas, yaitu mencegah ada PT yang mengantongi izin resmi dari Kementerian melakukan praktik jual-beli ijazah. Praktik demikian tidak saja melanggar undang-undang tentang prinsip nirlaba, tetapi juga menggerogoti peradaban bangsa.
Sejatinya temuan-temuan Tim EKA pada PT tersebut bersifat final karena tercantum pada sebuah berita acara yang telah ditandatangani oleh pimpinan PT dan seluruh tim. Baru pada awal Juni lalu, PT mengingkari temuan tentang tindak plagiat, sementara untuk temuan lain konon PT berjanji akan memperbaiki. Padahal konstruksi temuan Tim EKA menempatkan tindak plagiat hanyalah sebuah manifestasi permukaan dari temuan pada aspek lainnya yaitu nihilnya proses dan penjaminan mutu akademik. Dengan bukti-bukti tindak plagiat yang begitu nyata, kini PT memasuki babak baru pengingkaran, yaitu menyalahkan dokumen yang pernah ia serahkan.
Tim EKA merupakan perpaduan kearifan senior, keberanian dan ketegasan yang lebih muda, kecermatan anak muda yang penuh idealisme dan kecanggihan tenologi staf pendukung. Alhamdulillah, saya bersyukur telah berada di dalamnya. Di tim inilah saya banyak belajar kepada anak-anak muda. Terkejut saya mendengar sekarang banyak lulusan luar negeri ingin bergabung menjadi bagian dari Tim EKA.
Kecermatan kerja berbasis penguasaan yang prima terhadap berbagai macam data merupakan kunci keberhasilan. Tim tidak akan turun berkunjung jika penguasaan data kurang dari 80 persen. Selama saya bertugas di tim ini, belum pernah hipotesis awal tidak terbukti saat visitasi. Poin pentingnya hanya soal seberapa tangguh PT itu sanggup bertahan dan kapan kemudian ia menyerah dan mengakui.
Setidaknya ada 3 kelompok PT berdasarkan responnya terhadap temuan Tim EKA. Pertama adalah kelompok PT yang sangat mudah menerima kebenaran. Ketika tim baru mengungkap 10 persen data pelanggaran, dengan tergopoh PT mengakuinya dan tak jarang di antara mereka lantas curhat banyak hal termasuk pelanggaran yang sebenarnya belum terendus. Hakekat kunjungan Tim EKA sesungguhnya bukan menemukan pelanggaran, tetapi menemukan unsur kejujuran semacam itu. Pada kelompok ini kami selalu saja berjumpa orang-orang beriman yang di kemudian hari akhirnya menjadi saudara dan teman. Cerita dan contoh tentang PT ini sudah banyak saya singgung pada tulisan sebelumnya, dan rata-rata mereka sekarang tengah menaiki tangga kualitas.
Kelompok kedua adalah PT yang awalnya berbelit dan berargumen, namun akhirnya tidak bisa mengelak lagi, “menyerah” terpaksa mengakui sejumlah pelanggaran. Biasanya penyerahan itu setelah tim menunjukkan data 10 persen kedua atau ketiga. Pada kelompok ini, 30 persen data sudah mencukupi untuk perumusan berita acara, sedang 70 persen sisanya menjadi cadangan yang amat berguna untuk pembinaan nantinya terutama untuk mengamati kejujuran dan konsistensinya. Pernah suatu ketika tim terpaksa memutar rekaman video wisuda ilegal yang terjadi pada akhir tahun 2014 di Taman Mini Indonesia Indah, sekedar untuk membuat PT itu menunduk dan menekuk lututnya.
Kelompok ketiga sebenarnya tidak bisa disebut sebagai kelompok karena hanya 1 PT. Saya menyaksikan beberapa orang di situ sangat enteng berkata tidak benar. Ketika tim meminta soft copy disertasi, kaprodi yang seorang profesor (K) itu menjawab enteng bahwa mereka tidak memilikinya karena mahasiswa tidak wajib mengumpulkan. Pada penelusuran sebelumnya berdasarkan pedoman akademik dan wawancara dengan berbagai sumber jelas bahwa penyerahan soft copy itu sifatnya wajib. Kesaksian seorang keponakan yang sivitas akademika turut menguatkan kami.
Jawaban enteng sekenanya itu memicu pertanyaan iseng lebih lanjut. Kalau tidak memiliki soft copy, lantas bagaimana PT memeriksa unsur plagiat karya ilmiah?. Lagi-lagi jawaban ibu K itu mengejutkan semua orang. Konon universitasnya baru saja membeli alat yang bila disorotkan ke naskah disertasi akan muncul warna hijau, kuning dan merah. Mungkin warna merah maksudnya mengandung unsur plagiat parah. Melirik Direktur PPs tampak tanpa ekspresi, saya menebarkan pandangan ke arah tim yang dipenuhi senyum tersipu seperti dulu hendak menjadi calon menantu.
Tak seorangpun di antara kami menduga akan mendengar jawaban sekonyol itu. Seorang anggota termuda mulai memerah dan merangsek ketika dengan enteng sang profesor menyarankan agar Tim EKA mengikuti pelatihan di universitasnya menggunakan alat super canggih itu. Syukurlah, tatapan ini mampu menggamit pundak muda itu dan membungkukkan bahunya, serta kemudian mendorongnya kembali ke tempat semula.
Tulisan ini tidak sedang membuka aib seseorang tetapi mengabarkan kebenaran tentang kejumudan sebuah institusi publik yang tugas utamanya membangun kejujuran untuk menemukan kebenaran. Kejumudan itu tampaknya sudah sangat akut dan berlangsung demikian lama sehingga PT ini tertinggal jauh dan cenderung tertutup dari perkembangan terkini tentang sesuatu yang sedang mereka pamerkan. Di antara anggota tim ada yang sangat expert soal tindak plagiat, namun saya gembira kawan kita ini hanya tersenyum dingin merespon tawaran mengikuti pelatihan itu.
Yang terpenting saat ini adalah menemukan cara menyelamatkan universitas ini. Target minimal adalah mengembalikan kejayaan akademik sebagaimana pernah digenggam puluhan tahun silam. Saya merasakan universitas ini sedang berada di dalam kendali sesuatu yang tidak semestinya.
Penyelamatan terbaik adalah ketika terjadi penyehatan diri dari dalam. Kita mesti telaten memunguti butiran nurani di tumpukan jerami tirani dinasti. Saya mengamati sekumpulan nurani yang terdiam seribu bahasa ketika pemimpinnya ada. Namun nurani itu jualah yang terlihat menjadi sangat merdeka dan gembira, bersorak ria mengamini temuan Tim Eka ketika pemimpinnya keluar sebentar untuk sebuah acara. Saya dan anggota tim lainnya menyambut ramai uluran jabat tangan seolah itu dari sahabat lama. Beberapa kali saya mendengar teriakan lirih dari peserta rapat siang itu (kaprodi?), “selamat datang Tim Eka”, atau “hidup Tim EKA”. Kini suara-suara itu terbenam entah di mana, bisa jadi hanyut oleh arus mutasi.
Skenario menyalahkan dokumen disertasi akan menjadikan kasus ini semakin menarik dan seksi. Kasus yang mestinya sangat sederhana ini akan terpantik sehingga menggugah gairah perbincangan khalayak ramai. Munculnya dokumen disertasi versi baru berpotensi menambah panjang daftar kejumudan PT ini mengingat pengalaman sebelumnya setiap dokumen yang muncul selalu mengandung unsur jumud dan bahkan cenderung memasuki domain jahala.
Pada awal tahun PT ini merilis data yang mengejutkan Kementerian. Sesuai SK Rektor No. 09/XX/XX17, universitas telah memberhentikan (Drop Out (DO)) 763 orang mahasiswa S3 Non Reguler. Jumlah DO hingga ordo ribuan masih wajar untuk jenjang diploma dan sarjana, tetapi menjadi sangat aneh untuk jenjang doktor. Berkali-kali saya mendengar pak Menteri yang mantan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Undip itu tak henti-hentinya menggeleng dan bertanya dalam logat Jawa, “terus jumlah mahasiswa doktornya itu berapa?.
Proporsi mahasiswa yang mengalami DO merupakan indikator penting penjaminan mutu pendidikan. Dari total 763 orang peserta DO, 690 orang adalah peserta doktor pada 2 program studi (prodi) yaitu 214 untuk prodi IM dan 476 untuk prodi MP. Jumlah peserta DO dari 2 prodi ini setara dengan jumlah doktor yang dihasilkan oleh ITB selama 5,5 tahun melalui 27 prodi doktor yang dimiliki. Ups terlewati, pembicaraan tadi belum menyertakan jumlah peserta doktor reguler lho.
Jika pembaca sibuk bertanya-tanya tentang jumlah peserta doktor seluruhnya, maka pikiran para pembaca sudah sama dengan pikiran Menteri. Biarlah jumlah itu menjadi rahasia ilahi. Saya tidak tertarik untuk meneliti karena optimis nanti akan selalu diingkari lagi.
Anggota termuda melakukan provokasi lagi. Nama-nama peserta DO ternyata masih dinyatakan aktif di PD Dikti. Kecewa karena saya tidak menanggapi, sambil bersungut ia kembali ke laptop lagi. Oh, ini dia baru kerja, ada 1 profesor di PT itu yang setiap tahun kapasitas produksi doktornya melebihi kapasitas produksi seluruh profesor ITB. Pastilah ini profesor brilian penghasil doktor super jenius yang disertasinya diterbitkan dalam banyak versi.
Berdasarkan proses terbentuknya, menurut saya kebodohan itu setidaknya ada 3 jenis. Pertama adalah kebodohan alami yang disebabkan oleh kesenjangan politik, sosial, ekonomi dan geografis. Kebodohan jenis ini umumnya tidak terjadi di ibu kota, kecuali mereka yang terpinggirkan, tetapi diderita oleh masyarakat yang jauh dari akses informasi terutama melanda daerah terluar, terdepan dan tertinggal. Solusi atas kebodohan ini adalah kehadiran regulasi dengan sejumlah program afirmasi. Beasiswa pendidikan Bidikmisi dan semacamnya adalah salah satu contoh bukti kehadiran ibu pertiwi.
Jenis kedua adalah kebodohan yang diakui setelah melakukan evaluasi diri. Kebodohan jenis ini disebabkan oleh kesenjangan visi. China dan Korea Selatan merupakan contoh negara yang di masa lalu secara terbuka mengakui ketertinggalannya dari Jepang. Pengakuan secara jujur melalui refleksi diri yang mendalam telah mampu meletakkan baseline kebodohan sebagai pijakan untuk merumuskan visi mengalahkan negara serumpunnya itu. Banyak orang kini mengakui bahwa pengakuan secara jujur atas kebodohan dua negara itu telah mampu mengantarkannya menjadi adi daya ekonomi baru.
Lain lagi cerita di Negeri Atas Angin. Lebih banyak orang tidak mengakui suatu kebodohan atau ketertinggalan, tetapi sibuk berdebat membangun argumentasi. Ketika jurnal internasional diwacanakan pertama kali, orang sibuk berantem tentang definisi. Acapkali kesibukan ini mengganggu kinerja hakim, jaksa dan polisi.
Ketidakjujuran itu sumber utama pemborosan. Sangat mudah menjumpai orang di negeri itu sangat lihai ngeles, menghindar dari tanggungjawab. Ketika daya saing negeri sedang rendah, semua telunjuk mengarah kepada pendidikan tinggi, selanjutnya tatapan mata ditujukan kepada lulusan. Alumni menyalahkan rektor, rektor menyalahkan menteri karena memasung kreatifitas dengan sejumlah regulasi, dan seterusnya dan seterusnya. Ujung-ujungnya yang disalahkan adalah presiden, maka yang mesti dirombak adalah sistem Pemilu, lalu di situlah orang mulai mengutak-utik APBN.
Kebodohan yang paling berbahaya adalah yang jenis ketiga yaitu yang terbentuk oleh sikap tidak mau tahu bahwa dirinya bodoh yang kawin mawin dengan sikap menganggap bodoh orang lain. Umumnya kebodohan jenis ini diidap oleh masyarakat perkotaan, termasuk ibu kota. Penyebabnya adalah kesenjangan kecerdasan dan sekaligus hati nurani. Contohnya adalah menyarankan seorang ahli untuk mengikuti pelatihan di gerombolan bukan ahli, atau memamerkan tiap doktornya adalah super jenius sehingga memiliki disertasi banyak versi. Jangan bertanya ke mana dipublikasi, dan jangan ditanya mengapa tak dipublikasi.
Supriadi Rustad, Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Perguruan Tinggi, Kemenristekdikti, Pelaksana Tugas Rektor Universitas Halu Oleo (UHO) 2016-2017, Kendari, Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Dian Nuswantoro, Semarang