Tulisan ini tidak bermaksud untuk membangkitkan dikotomi apalagi diskriminasi, tapi justru memaparkan bukti. Peran dan kontribusi perguruan tinggi swasta ternyata tidak kalah dengan yang negeri. Tampaknya harus ada yang berubah dalam cara kita memandang pendidikan tinggi.
Di zaman sebelumnya, kesetaraan negeri dan swasta menjadi jargon para politisi. Ia mengalir top-down dari pernyataan presiden dan menteri. Nuansanya seperti memberikan empati kepada pihak yang lebih lemah agar tidak terus menerus memupuk perasaan iri. Sekarang diskursus kesetaraan itu justru muncul dari arus bawah melalui amatan yang cermat terhadap kinerja dosen sebagai peneliti.
Kini ada tanda-tanda bahwa secara empirik ptn dan pts hanya tinggal nama untuk suatu institusi pendidikan tinggi yang sama. Kebenaran hipotesis ini sangat tergantung pada validitas dan kesahihan data. Di dalam analisis ini saya memanfaatkan data Scopus dan PD Dikti yang keduanya merupakan sumber data terbuka. Untuk data pertama, saya nebeng rilis peringkat 50 Perguruan Tinggi Paling Produktif yang dikeluarkan oleh juragan Hendra.
Setiap tahun Prof. Hendra Gunawan (FMIPA ITB) merilis daftar 50 Perguruan Tinggi (PT) Indonesia Paling Produktif dalam Riset Menurut Scopus. Saya berasumsi pembaca sudah familiar dengan daftar ini. Di dalam daftar disertakan pula perolehan publikasi Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) dan lima lembaga penelitian nasional sebagai pembanding yang bagus. Dicantumkan pula 5 PT dengan keterangan “terlempar ke luar dan/atau dalam pemantauan”, yang ditutup dengan kemunculan pendatang baru, kampus tempat saya bertugas, Udinus. Mungkin maksud pencantuman kelima PT tersebut adalah mengirim sinyal ke hati-hatian agar perguruan tinggi selalu menjaga semangat berkompetisi secara serius.
Kinerja penelitian negeri ini ternyata bertumpu pada kekuatan perguruan tinggi. Capaian publikasi karya ilmiah Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai pemuncak, hampir dua kali lipat capaian 5 lembaga yang menjadi markas besar para peneliti. Perguruan tinggi sekelas Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) menyumbang kinerja lebih dari kinerja Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang beken disebut LIPI. Sepertinya kebijakan penguatan inovasi nasional tidak boleh lagi meremehkan peran dan kekuatan perguruan tinggi.
Pencantuman data capaian UKM sebagai pembanding sungguh mencolok mata. Capaian salah satu universitas terbaik di negeri jiran itu setara dengan capaian 5 PT nasional papan atas kita. Saat ini ia bisa dikalahkan kalau kita main keroyokan satu lawan lima. Ya, memang daya saing peneliti kita di kawasan ASEAN masih di bawah prestasi cabang sepak bola.
Rilis itu juga menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan daya saing penelitian, namun kecepatannya belum signifikan. Pada pertengahan tahun 2013, kekuatan ITB adalah seperlima dari UKM, namun pertengahan 2017 ini nilai seperempat lebih menunjukkan angka perbandingan. Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM) dan apalagi perguruan tinggi lainnya juga menunjukkan kecenderungan peningkatan yang sangat lamban.
Data PT paling produktif yang dirilis kang Hendra mencerminkan kekuatan penelitian dari suatu institusi. Secara umum perguruan tinggi yang bernama pts lumayan tertinggal dari sejawatnya yang menyandang nama negeri. Dari keseluruhan 50 PT, hanya 14 yang bernama pts dan hanya 4 yang menempati 30 teratas. Berdasarkan rilis itu, orang boleh keliru menafsirkan bahwa daya saing penelitian ptn lebih bagus dari pada pts, namun saya boleh punya pendapat berbeda.
Ilmu Fisika selalu mengajari untuk tidak lupa melakukan normalisasi. Proses ini dilakukan terutama untuk menyamakan penyebut seperti dalam aturan penjumlahan, agar sebuah parameter menjadi mandiri. Dalam konteks ini data capaian publikasi institusi saya normalisasi terhadap jumlah dosen berdasarkan PD Dikti. Maksudnya adalah untuk mengukur daya saing peneliti. Saya juga berasumsi pembaca sudah sangat familiar dengan data jumlah dosen yang bisa diakses di PD Dikti melalui menu profil perguruan tinggi.
Data ternormalisasi menceritakan kabar baik bahwa produktivitas peneliti di pts tidak kalah dengan sejawatnya yang di negeri. Normalisasi telah memobilisasi PT ke dalam peringkat yang lebih sesuai dengan tingkat energi peneliti. Tercatat sejumlah 14 pts bergerak naik ke dalam peringkat 30 besar, menggantikan sejawat ptn yang turun derajad beramai-ramai.
Proses normalisasi apapun mestinya tidak mengguncang PT yang benar-benar berkualitas. Ini hanya terjadi pada PT di lima peringkat teratas. Nilai tertinggi dengan 5,6 publikasi per dosen masih dipegang oleh ITB sebagai juara kelas, diikuti oleh UI (3,2), ITS (2,7), IPB (2,6) dan UGM (2.0), yang kedudukannya dalam 5 teratas bersifat sangat robas.
Kesetaraan antara negeri dan swasta terlihat pada peringkat selanjutnya. Nilai publikasi per dosen antara 1 dan kurang dari 2 diduduki oleh 2 negeri dan 3 swasta. Mereka adalah Politeknik Elektronika Surabaya (1,3), UNDIP (1,2), Universitas Kristen Petra (1,1), Universitas Telkom (1,1) dan Universitas Bina Nusantara (1,0). Sedang nilai publikasi per dosen antara 0,5 dan kurang dari 1 yang diduduki oleh 10 ptn dan 7 pts, menyuguhkan pemandangan bahwa mereka berada dalam satu kelas yang setara.
Fakta yang terpapar menunjukkan bahwa PTS tidak hanya bisa diharapkan kontribusinya pada aspek akses saja tetapi juga mutu dan daya saing penelitian. Tidak dijumpai suatu beda yang signifikan tentang kinerja penelitian antara PT yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat. Kebijakan pendidikan tinggi tanpa diskriminasi bukan sekedar persoalan politis belaka tetapi menyangkut visi peningkatan daya saing bangsa beradab.
Saya termasuk yang mencemaskan perkembangan daya saing perguruan tinggi negeri. Prestasi penelitiannya tidak sebanding dengan ongkos demokrasi ketika memilih pemimpin yang sering membuat repot menteri. Nama besarnya “njenggureng” di pintu gerbang dan papan gelar, namun sesampai di tingkat dosen, wibawa penelitiannya pantas ditangisi.
Di negeri Atas Angin memang tidak ada perguruan tinggi negeri, yang ada adalah perguruan tinggi swasta. Di negeri elok rupawan yang mengawang di atas awan ini, ptn dan pts itu bukan singkatan tetapi nama. Mereka tampak berbeda dalam gaya namun keduanya sama-sama perguruan tinggi swasta yang memperoleh subsidi dari negara.
Karena semuanya swasta, tak ada satu pun perguruan tinggi yang bebas dari sumbangan SPP mahasiswa. Akhir-akhir ini, besaran SPP mahasiswa untuk kedua nama tersebut tidak jelas ada pembeda.Saya menjumpai beberapa yang bernama ptn justru menarik SPP lebih besar dari yang dipungut oleh pts dengan kinerja penelitian dosen yang setara atau di atasnya. Mahasiswa membayar lebih mahal hanya untuk sebuah nama.
Saya mencatat tak ada satu pun perguruan tinggi yang luput dari anggaran belanja negara. Mereka yang bernama ptn mendapat subsidi jauh lebih banyak karena persoalan nama semata, dan jelas bukan karena beda kinerja. Mereka yang bernama pts paling-paling mendapatkan subsidi tunjangan profesi, dana penelitian dan beasiswa, dan juga bukan karena kinerja tetapi karena nama. Namun itu semua dapat diterima oleh logika karena memang semuanya adalah perguruan tinggi swasta.
Kesetaraan antara negeri dan swasta mungkin akan terasa sempurna bila dilakukan normalisasi yang kedua. Kinerja penelitiannya kurang lebih sama, besaran SPP mahasiswa juga sama, namun perbedaannya terletak pada besaran subsidi dari negara. Ordo ratusan adalah nisbah subsidi kedua nama berdasarkan perkiraan saya. Seandainya ada yang berkenan melakukan normalisasi data produktifitas dosen sebagai peneliti terhadap besaran subsidi dari negara, maka peringkat papan atas boleh jadi akan diduduki oleh perguruan tinggi yang berbeda.
Tentu saya juga tidak akan melakukan normalisasi kedua untuk tujuan membangun dikotomi. Ekstrapolasi normalisasi di atas hanya sekedar menyentil agar yang menyandang nama negeri lebih menyadari telah menerima banyak subsidi. Sudah sepatutnya jika kinerja publikasi perguruan tinggi ini dituntut meningkat ratusan kali.
Subsidi itu kadang berwatak seperti harta warisan. Kalau tidak amanah di dalam pengelolaan, ia dapat membuat keluarga menjadi berantakan. Subsidi bagi yang bernama negeri nampaknya perlu dikaji ulang. Untuk apa ada subsidi jika setelah sekian lama daya saingnya selalu ketinggalan. Untuk apa diberi nama negeri jika prestasinya tidak bisa menjadi teladan.
Di dalam budaya Jawa, pemberian nama anak manusia memuat suatu harapan. Perubahan nama anak dilakukan jika ia ternyata sering sakit-sakitan. Nama Waras menggantikan nama Karto Jemadi yang sering sakit sariawan. Nama Sugeng mengandung harapan agar ia bisa sukses meneruskan kehidupan, tidak seperti kakak-kakak sebelumnya yang meninggal duluan. Nama negeri memuat harapan agar ia menjadi teladan dan kebanggaan.
Waktu belakangan ini perhelatan pemilihan rektor di perguruan tinggi yang bernama negeri kian ramai. Satu tahun lebih waktu dibelanjakan hanya untuk saling berkelahi dan lapor polisi. Dua tahun berikutnya tema diskusi disesaki oleh aspirasi tentang tunjangan profesi dan cara membagi remunerasi. Tahun keempat masing-masing yang berkepentingan sibuk membangun kuda-kuda untuk berkelahi lagi. Praktis tidak ada perhatian bagi para peneliti sehingga wajar jika prestasinya tidak bisa diteladani.
Di dalam tataran praktik, saya tidak menemukan makna dari politik pemberian nama. Sebuah perguruan tinggi bernama negeri, memiliki ribuan mahasiswa doktor, namun kinerja penelitiannya kalah jauh dibandingkan dengan mereka yang tidak negeri dan program doktornya belum ada. Sungguh ini fenomena yang sulit diterima oleh nalar manusia.
Sudah barang tentu hipotesis yang saya ajukan pada tulisan ini memiliki banyak kelemahan terutama karena hanya berbekal data dari 2 sumber terbuka. Saya akan sangat senang sekiranya ada telaah kritis, misalnya dengan menghadirkan data ketiga dan seterusnya. Boleh jadi ada yang mendebat hipotesis itu ketika terus terang saya gagal menghadirkan data yang tidak kasat mata. Data ghaib ini berupa ribuan judul karya ilmiah yang mungkin tersimpan entah di mana. Jika seseorang berkenan menelusuri keberadaan karya ilmiah tersebut ke perpustakaan setempat, mungkin dia akan diinterogasi karena diduga sebagai mata-mata.
Pengalaman saya bertugas di perguruan tinggi negeri dan swasta telah menghasilkan sebuah ujung hiptesis yang memiliki kode rumus: satu kineja dengan sepertiga dana. Untuk target kinerja yang sama, pengelolaan secara swasta membelanjakan sepertiga dana yang umumnya dihabiskan oleh sejawatnya. Lantas kenapa kita tidak satu nama saja?
Supriadi Rustad, Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Perguruan Tinggi, Kemenristekdikti, Pelaksana Tugas Rektor Universitas Halu Oleo (2016-2017), Kendari, Wakil Rektor Bidang Akademik, Universitas Dian Nuswantoro, Semarang.