Telah banyak contoh masyarakat maju menganggap suci nilai-nilai pendidikan dan menjadikannya sebagai sektor fundamental pembangunan. Jika ia rapuh, maka sektor pilar sosial, ekonomi, politik dan pertahanan keamanan niscaya ambruk menjadi bantalan. Kesadaran inilah yang menggerakkan lima tahun silam presiden Hongaria Pal Schmitt mengundurkan diri setelah ijazahnya dibatalkan oleh Universitas Semmelweis di Budapest karena disertasinya terbukti jiplakan. Dengan ksatria ia mengatakan kepada parlemen bahwa presiden itu simbol persatuan, sementara saat itu ia sedang menjadi simbol perpecahan karena setiap hari menjadi fokus perbincangan dan perdebatan.
Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan, namun cara mengambil sikap atas kesalahan itu menjadi ukuran keberadaban. Pengunduran diri, pencabutan dan pembatalan merupakan contoh beberapa sikap terpuji terhadap suatu kesalahan. Sikap terpuji ini didorong oleh budaya malu, pemrioritasan kepada kepentingan umum, dan kehendak untuk menemukan solusi dengan cara menggunting lipatan persoalan.
Di sejumlah negara beradab, plagiat merupakan tindakan nista. Pada tahun 2013 Menteri pendidikan nasional Jerman Annette Schavan mengundurkan diri karena kasus yang lebih sederhana. Hasil investigasi Universitas Dusseldorf menunjukkan bahwa di dalam disertasinya, Annette mengutip karya orang lain tanpa mencantumkan sumbernya. Perbuatan demikian sejatinya tidak tergolong “kriminal”, lebih hanya sebagai tindakan tercela.
Penemuan tindak plagiat umumnya diawali oleh pengungkapan melalui narablog oleh seseorang yang namanya dikaburkan. Ternyata di dunia ini ada komunitas para pemburu plagiat yang saling berkawan. Komunitas ini telah banyak menorehkan jejak lumayan. Kasus teranyar adalah pengunduran diri Klavdija Markez sebagai menteri Pendidikan Slovenia pada tahun 2015 karena tesis magisternya terbukti hasil bajakan.
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikan. Ini hanya dongeng di negeri Atas Angin, sebuah negeri elok yang mengawang di atas awan. Seorang pejabat pemerintah secara meyakinkan melakukan tindak plagiat pada disertasi doktornya yang baru berumur satu tahunan. Ketika yang bersangkutan mengetahui data-data plagiat sudah terendus oleh awam, mestinya secara ksatria ia mengundurkan diri dari jabatan, atau minimal rela ijazahnya dikembalikan. Yang terjadi adalah ia dibela mati-matian oleh rektornya yang terkenal punya banyak kawan. Konon yang bersangkutan juga sedang menyiapkan gugatan jika sewaktu-waktu ijazahnya jadi dibatalkan.
Seorang doktor yang sangat berprestasi mestinya mendapat penghargaan dan promosi. Namun itu tidak terjadi pada doktor yang satu ini. Lulus dari perguruan tinggi (PT) besar dalam waktu 2 tahun dengan indeks prestasi 3,90 dan predikat summa cumlaude, baru-baru ini ia malah diberitakan masuk bui. Di manakah teori yang menjelaskan fenomena unik ini?. Well…, ia ada di balik tulisan ini.
Sebagaimana publik sudah menduga, akhirnya Rabu malam lalu gubernur muda itu ditahan oleh KPK. Konon beliau di tempatkan di Rutan Guntur, sebuah rumah tahanan yang terkenal angker hadiah dari institusi militer. Di dalam bahasa Jawa, guntur bermakna lebih hebat dari geledek atau petir. Mungkin lebih tepat dikatakan guntur itu adalah petir yang menggelegar, membahana, menggema, menembus ruang semesta. Efek suaranya tidak hanya berdimensi lokal tetapi merambat dan menjalar secara regional antar pulau lintas samudera.
Sebagai gelombang, suara guntur terbentuk oleh ledakan energi setelah sebuah sistem fisis gagal menahan perbedaan tegangan. Udara yang mestinya berwatak isolator secara mendadak berubah menjadi konduktor yang dalam waktu singkat dipaksa mengangkut triliunan satuan muatan. Kilatan-kilatan guntur menjadi penanda bahwa efek utamanya bukan dalam bentuk suara menggelegar sebagaimana sering kita dengar, tetapi silau panas yang menghanguskan.
Pertemuan saya dengan gubernur tampan dengan postur tinggi tegap itu bisa dianggap sebagai berkah. Pada awal Februari lalu, sebagai pelaksana tugas (PLT) rektor saya sowan menemui beliau di kantornya yang megah. Sebelumnya melalui berbagai media setempat, beliau menyampaikan keluhan bahwa saya sebagai pelaksana tugas rektor belum pernah melapor kepada gubernur sebagai pemimpin wilayah.
Kedatangan menemui beliau hanya mengandung satu niat yaitu meminta maaf sekaligus menjelaskan atas ketidaksegeraan saya menghadap. Alhamdulillah, saya cukup mengerti tentang sopan santun sehingga cepat merasa bersalah ketika ditegur oleh pejabat. Solusinya pun amat sederhana yaitu meminta maaf, dan urusan pun selesai cepat.
Alasan saya tidak segera menghadap sang pemimpin wilayah pernah saya jelaskan pada tulisan sebelumnya, namun alasan berikut belum sempat disebut. Konon menurut sumber A1, pak gubernur ini pernah menyambangi kementerian dan sempat menyebut nama bakal calon rektor UHO. Itulah yang membuat saya membutuhkan waktu lama berfikir tentang cara terbaik melakukan koordinasi kepada pemerintah daerah namun tetap menjaga netralitas yang ketika itu menjadi isu sensitif di kampus.
Saya mengakui bahwa ketika bertugas di Kendari ini sering mendapat kejutan. Di luar dugaan, pada pertemuan itu ternyata pak gubernur malah lebih tertarik mendiskusikan tentang tugas-tugas Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) daripada tugas saya sebagai PLT rektor. Saya menilai aneh karena ternyata beliau juga telah mengenali saya sebagai ketua Tim EKA. Pada paruh terakhir pertemuan, beliau lebih banyak curhat tentang ijazah doktornya yang konon dipersoalkan oleh Kementerian. Oh, rupanya beliau termasuk salah satu doktor yang direkomendasikan oleh Tim EKA agar ijazahnya dibatalkan.
Seringkali manusia dihadapkan kepada situasi yang berbeda dengan yang diharapkannya. Sebagai ketua Tim EKA saya tentu cukup sibuk mengelola pergumulan kepentingan di dalam dada, yaitu antara sebagai rektor dan ketua Tim EKA. Akhirnya saya kemudian memilih untuk memilah bahwa pada pertemuan itu saya bertugas sebagai pemimpin perguruan tinggi yang memang harus selalu berkoordinasi secara harmonis dengan pemimpin pemerintah daerah dan unsur lainnya.
Pertanyaan-pertanyaan beliau seputar pendidikan doktornya saya tanggapi secara normatif. Ini sekaligus numpang menjelaskan bahwa pada keterangan afiliasi di ujung setiap tulisan, saya sering mencantumkan 2 identitas yaitu sebagai Tim EKA dan pelaksana tugas rektor UHO karena keduanya saling bertemali. Kebetulan saat ini kedua tugas itu tengah mengambil setting lokasi di kota yang sama yaitu Kendari. Inshaallah kelak akan terjelaskan juga, bahkan dengan identitas saya di Universitas Dian Nuswantoro, bahwa identitas-identitas itu memiliki hubungan yang saling kait mengkait.
Doktor itu mestinya bukan gelar tetapi wujud integritas dan pencapaian kompetensi seseorang. Doktor summa cumlaude mestimya memancarkan sosok jujur, cerdas nan santun, terekognisi dalam bidangnya baik di tingkat nasional dan internasional, serta bertaqwa dan beriman. Pembaca tentu juga ikut berpusing ria memahami fenomena doktor hebat dan masih gress itu kini masuk rumah tahanan.
Rasanya memang sangat sulit memahami hubungan realitas antara pendidikan (apalagi jenjang doktor) dengan kejujuran. Kalau memang tidak ada korelasinya, lantas untuk apa kita menyelenggarakan pendidikan?. Saya berpendapat kesalahan utamanya pasti bukan pada pribadi doktor itu tetapi pada institusi yang menyelenggarakan pendidikan.
Ada satu penjelasan yang akhirnya membuat enteng pikiran. Sang doktor itu diduga tidak menempuh perkuliahan apalagi melakukan penelitian. Hipotesis inilah satu-satunya penjelasan yang mampu mengembalikan hubungan akal sehat antara pendidikan dan kejujuran. Di balik batu ada udang, mungkin ijazah itu diterbitkan karena uang. Perlu diteliti lebih lanjut apakah perselingkuhan itu mendapatkan amunisi dari hasil tambang?.
Tulisan ini merupakan salah satu bentuk appeal agar pendidikan di negeri ini mulai diperhatikan. Sedih menyaksikan negeri ini sehari-hari disesaki persoalan politik dan pertengkaran yang ujung-unjungnya hanya memperebutkan kekuasaan. Isu-isu penting pendidikan menjadi terabaikan dan tersingkirkan. Saya berharap rektor segera melakukan peninjauan ulang terhadap ijazah tanpa harus berpanjang-panjang karena bukti sudah demikian gamblang dan terang benderang. Sekali lagi ini sebuah dongeng dari negeri di atas awan.
Rektor tidak boleh melindungi plagiator yang juga tersangka korupsi. Pejabat manapun termasuk presiden, wakil presiden, DPR dan lainnya, tidak boleh menghalangi pendidikan tinggi menyumbang kualitas peradaban. Jika tak seorangpun sanggup membina rektor itu, promosikan saja, boleh jadi ia sangat berbakat menjadi menteri perdagangan.
Para elit negeri dilarang mengkhianati Ibu Pertiwi. Pendidikan merupakan sosok yang paling tepat mewakili ibu bagi ratusan juta warga negara yang telah disusui. Wahai para pemimpinku, jangan terus sibuk berkelahi, tengoklah ibu tempat kita menaruh hormat dan bakti. Tepati janjimu menjalankan revolusi mental bahkan hingga pendidikan tinggi. Sadarlah, kita telah menjauh dari peradaban yang penuh nilai.
Manusia boleh berusaha membabi buta, namun mereka sejatinya bukan sang penguasa. Pengunduran diri pejabat tersebut rupanya telah menjadi takdir Allah. Setelah setahun menjadi tersangka akhirnya ia ditahan oleh lembaga anti rasuah, meninggalkan rumah dan kantornya yang megah. Tidak seorangpun bisa mencegah, pengunduran diri paksa itu kini telah menjadi catatan sejarah.
Tampaknya Allah telah cukup memberikan peringatan. Penahanan itu telah menjadi penanda bagai kilatan-kilatan guntur yang membawa panas menghanguskan. Akankah sang rektor dan perguruan tinggi itu sanggup bertahan?.
Dengan sabar saya ingin segera menyaksikan persandingan karya ilmiah pada minggu depan. Tiga tim akan menyampaikan paparan yaitu Tim EKA, Tim Independen dan Tim Universitas yang bersangkutan. Syukur alhhamdulillah sekiranya dapat menjadi tontonan sehingga bisa menghibur masyarakat yang haus hiburan kesenian.
Lepas dari dagelan dan dongeng negeri di atas awan, nampaknya pemerintah perlu meninjau ulang praktik penyelenggaraan pendidikan tinggi terutama pada pemuncak jenjang (S3). Otonomi yang diberikan kepada perguruan tinggi (PT) tentang kelulusan harus berada di dalam sistem kendali nasional yang kredibel melalui otomatisasi pengawasan. Kalau tidak ada kendali maka PT akan cenderung terjerumus melakukan pelanggaran. Upacara sidang tertutup, terbuka atau promosi dan wisuda menjelma menjadi upacara selamatan ala selamatan bayi di kampung kelahiran. Semakin banyak rizki jika semakin rajin mendatangi selamatan.
Penerbitan nomor (PIN) ijazah secara nasional yang telah diwacanakan sejak 3 tahun lalu perlu segera direalisasi. Saya mendengar konon saat ini sistem tersebut baru masuk tahap uji. Perlu keberanian untuk memulai dengan strategi berjenjang, misalnya untuk tahun ini sistem tersebut diberlakukan kepada jenjang doktor, tahun depan jenjang magister dan berikutnya jenjang sarjana, dan seterusnya. Strategi berjenjang merupakan pendekatan yang realistis sekaligus edukatif karena jenjang yang sedang menunggu giliran pasti akan banyak berbenah.
Supriadi Rustad, Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Perguruan Tinggi, Kemenristekdikti, Pelaksana Tugas Rektor Universitas Halu Oleo (UHO) 2016-2017, Kendari, Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Dian Nuswantoro, Semarang