Rindu Dongeng Ijazah Abal-abal

Negeri Sakura yang damai, aman dan tenteram itu memang cocok menjadi pilihan untuk sejenak membeningkan pikiran. Namun tidak tahu ya, mengapa saya selalu rindu kepada negeri elok rupawan yang mengawang di atas awan. I am telling you the truth, kerinduan ini begitu dalam.

Banyak kisah rindu sejati berbalas hikmah. Bak gayung bersambut, di negeri Atas Angin ternyata juga sedang ramai diperbincangkan sebuah keabsahan ijazah. Anehnya, yang dipersoalkan sama sekali bukan kompetensi lulusannya tetapi si penanda tangan ijazah yang notabene seorang pelaksana tugas rektor yang secara resmi ditugasi oleh Pemerintah.

Negeri dongeng itu memang banyak mengumbar bicara latah yang salah kaprah. Yang salah dianggap lumrah dan kaprah sementara solusi baik dianggap salah. Padahal, sangat patut diduga yang mempersoalkan keabsahan ijazah tersebut adalah institusi yang para pimpinannya terjerat kasus tindak plagiat berjamaah. Sebagai orang yang ditugasi mencermati secara teliti data lulusan universitas di tempat bertugas dan data studi doktor mereka yang mempersoalkan keabsahan ijazah, tidak ragu sedikitpun bahwa ijazah doktor para penguasa daerah itulah yang sesungguhnya sangat bermasalah.

Pelaku tindak plagiat itu adalah orang yang bermental suka menerabas. Kalau ia memegang kekuasaan keuangan, ia kelak akan menghabiskan sisa umur di lapas. Kalau ia menjadi pimpinan perguruan tinggi, ia akan “jualan ijazah” dengan melanggar prinsip taat azas. Kalau ia memegang kendali kepegawaian, ia akan mengganjal lulusan manapun yang berkualitas agar anggota keluarga dan sanak saudaranya bisa menjadi pegawai biarpun mereka pemalas.

Ciri pertama masyarakat yang tidak maju-maju adalah sangat menyukai wilayah abu-abu dan suka menjadi peragu. Hanya karena soal istilah administrasi, yang substansi menjadi ambigu sehingga diskusi serta perdebatan menjurus ke hal yang tidak bermutu. Seorang awam mendadak menjadi ahli hukum yang serba tahu, namun pendapatnya tidak semakin memperjelas tetapi malah menjadikan pengertian semakin rancu dan acapkali menciptakan persoalan baru.

Masyarakat akademik yang sudah dewasa selalu berbicara dengan bahasa hati. Yang sering terjadi pada beberapa akademisi, sedikit-sedikit lapor kejaksaan dan polisi, serta melapor kesana-kemari hingga ke presiden Jokowi. Bahkan mereka juga melibatkan pengacara dan suka mengundang ahli hukum utuk menyelesaikan persoalan akademik yang sudah secara nyata menjadi otonomi perguruan tinggi. Mungkin karena menganggap laporannya tidak mendapatkan tanggapan yag memadai, maka ia akhirnya tega mencantumkan orang nomor satu di negara besar itu ke dalam daftar pihak turut tergugat ganti rugi.

Ciri kedua masyarakat yang tidak maju-maju adalah menonjolnya kemampuan berpikir tingkat rendah. Apapun yang tidak sesuai dengan yang tertulis dianggap salah. Multirepresentasi dari sebuah konsep tidak dianggap sebagai berkah untuk memperkaya makna tetapi malah dicurigai sebagai “bid’ah”. Mungkin kelak seorang dosen Fisika bisa digugat mahasiswanya ke pengadilan karena telah mengajarkan Hukum Newton tidak seperti yang dihafalkan di sekolah.

Banyak yang salah mengira bahwa rektor itu sebuah pekerjaan, profesi atau jabatan, padahal sejatinya ia adalah tugas tambahan. Di dalam terminologi ini, rektor dan pimpinan lainnya adalah pelaksana tugas tambahan. Hakekatnya ia adalah pelaksana tugas juga dan lebih titipan dari sebuah titipan. Baru saja terjadi, seseorang menggugat sejumlah pejabat kementerian dengan mencantumkan “rektor” sebagai identitas pekerjaan.

Mengacu kepada tugas tambahan, pelaksana tugas itu hakekatnya melaksanakan tugas tambahan dari seorang rektor yang sedang berhalangan atau ketika di suatu perguruan tinggi terjadi kekosongan. Jelas bahwa ia hadir atau sengaja dihadirkan pada sebuah institusi karena sebuah ketidaknormalan atau kevakuman. Pada situasi seperti ini rumus insinyur lebih bermakna dari pada tafsir ahli hukum apalagi tafsir orang awam. Prinsipnya dasarnya adalah menemukan solusi dari sebuah persoalan, bukan malah mempersoalkan sebuah persoalan.

Undang-undang telah merumuskan tata kelola yang mengatur pembagian tugas antara Badan Penyelenggara dan Pengelola pendidikan tinggi. Yang pertama merujuk kepada Kementerian untuk PTN dan Yayasan untuk PTS , dan yang kedua merujuk kepada unsur pimpinan perguruan tinggi, mulai dari rektor, direktur hingga kaprodi. Para pembaca tentu dapat mendalami dan mengerucuti tema-tema yang berkaitan dengan otonomi yang telah diatur di sana secara cukup terperinci.

Wisuda dan ijazah itu ranah perguruan tinggi, bukan ranah kementerian. Karena alasan itulah otonomi perguruan tinggi diberikan. Logikanya, ijazah ditandatangani oleh siapapun unsur perguruan tinggi yang pada saat itu bertugas menjadi pucuk pimpinan. Jelas menjadi tidak syah kalau sampai terjadi sebuah ijazah perguruan tinggi ditandatangani secara tertulis oleh pejabat kementerian. Itu sama saja dengan ijazah di perguruan tinggi swasta yang ditandatangani secara tertulis oleh unsur Yayasan.

Ciri ketiga masyarakat yang tidak maju-maju adalah sesuatu yang kurang bermutu malah tambah laku. Saya sungguh tidak tahu adakah suatu value tertentu yang kini sedang diperjuangkan oleh kegairahan membahas keabsahan ijazah itu?. Yang saya amati bahwa ternyata kegairahan itu ujung-ujungnya hanya menawarkan jurus jalan buntu.

Penandatanganan ijazah oleh seorang pelaksana tugas rektor sudah terjadi sejak zaman bahaeula. Praktek demikian telah dilakukan bertahun-tahun termasuk terjadi juga di sejumlah perguruan tinggi terkemuka. Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang dan seterusnya adalah sederetan kota yang telah menjadi saksi pada upacara “pernikahan” antara seorang pelaksana tugas dengan peserta wisuda. Pertanyaannya, apakah kota atau propinsi penolak ijazah itu memang sedemikian sangat istimewa?.

Mengatasi masalah tanpa masalah adalah slogan institusi Pegadaian di seluruh pelosok negeri. Insan perguruan tinggi mesti menyadari meski prestasi boleh melangit namun implementasinya harus membumi. Jangan sampai terjadi para akademisi malah tersesat menawarkan jurus menyelesaikan persoalan tanpa solusi. Pendapat apapun syah adanya, namun perlu mencakupi solusi untuk puluhan ribu lulusan dari sejumlah perguruan tinggi yang saat ini sebagaian besar di antaranya sudah mendarmakan bakti.

Semenjak bergabung dengan Tim EKA, saya terlatih untuk bekerja secara teliti dan cermat. Meski berdasarkan pengalaman sebelumnya terekam praktik baik penandatanganan ijazah oleh pendahulu pelaksana tugas, namun pada tanggal 6 Januari 2017 saya memilih menempuh prosedur birokrasi yang ketat. Melalui surat No. 99/UN29/LL/2017 saya memohon petunjuk kepada kementerian tentang penandatanganan ijazah dan alhamdulillah petunjuk teknis yang sangat jelas dan detil itu saya terima dalam waktu yang relatif singkat.

Semboyan klasik mengatakan sedia payung sebelum hujan, namun itu tidak berarti kita habiskan seluruh energi hanya untuk menemukan payung hukum sementara kita tidak sedang kehujanan persoalan. Karena menyangkut persoalan teknis penandatanganan, saya berpendapat urusan ini bisa dinyatakan selesai melalui fatwa dari Kementerian teknis yang memiliki kewenangan. Saya sama sekali tidak membayangkan urusan akademik begini diurusi oleh polisi, kejaksaan atau pengadilan.

Penolakan terhadap keabsahan ijazah itu bisa dimaknai sebagai upaya balas dendam dari pejabat yang sebentar lagi ijazah doktornya dibatalkan. Pimpinan perguruan tinggi dan para lulusan mesti mengintensifkan komunikasi dengan pemerintah daerah terutama yang sedang melaksanakan tugas sebagai pucuk pimpinan. Saya yakin persoalan ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan dengan prinsip tidak boleh ada anggota keluarga yang dirugikan.

Sesuai Surat Sekretaris Jendral Kemenristekdikti No. 240/A.A4/HK/2017 tanggal 9 Januari 2017, pelaksanaan wisuda dan pemrosesan ijazah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang kemudian diselenggarakan pada bulan Februari. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, daftar wisudawan dinyatakan valid baik di tingkat perguruan tinggi maupun di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti). Dengan cara ini sama sekali tidak diperlukan surat penjelas apapun tentang validitas dan keabsahan data alumni.

Sejak diterbitkannya UU No. 12 Tentang Dikti Tahun 2012, tatanan baru tentang keabsahan ijazah telah bergeser dari otorisasi pimpinan perguruan tinggi ke validitas data alumni di PD Dikti. Mestinya pejabat manapun termasuk pejabat pemerintah daerah tidak perlu repot memeriksa tanda tangan si Ali, tetapi cukup mengunjungi laman forlap.ristekdikti. Aneh, waktu lima tahun ternyata tidak mencukupi bagi penduduk negeri untuk memahami regulasi yang memuat sejumlah reformasi pendidikan tinggi.

Yang sering dituding sebagai kambing hitam dari adanya ketidakfahaman ini biasanya adalah tiadanya sosialisasi. Namun saya justru menemukan sejumlah perusahaan dan institusi pendidikan luar negeri sudah mulai memanfaatkan layanan PD Dikti untuk memeriksa keabsahan ijazah alumni. Saya sungguh tidak sedang bermimpi para pejabat negeri dan para kolega akademisi mengajak kita kembali ke jaman batu dan kurang manyadari datangnya era disrupsi. Zaman sudah serba digital dengan mengandalkan koneksi dan integrasi data komunikasi, namun di ujung tahun kita masih berkelahi soal tanda tangan, tinta basah, tinta kering dan seterusnya, yang semuanya itu sudah lama menjadi isu basi.

Revolusi mental menempatkan pendidikan sebagai modal moral. Saya meyakini ia tidak akan terganggu hanya oleh tidak adanya kesepakatan bulat tentang cara menulis ijazah pada situasi tidak normal. Sebaliknya, saya sangat merasa yakin ada tanda-tanda negara gagal jika keabsahan suatu ijazah diurus oleh pemilik ijazah abal-abal.

Semoga isu yang berkembang tentang keabsahan ijazah itu hanya guyonan teman media. Lumayan juga telah menjadi tema yang menghangatkan sejumlah grup wa, daripada hanya sibuk dengan ucapan selamatan belaka. Ia telah menjadi teman perjalanan wisata sekaligus bisa menghibur siapapun yang memilih tinggal di rumah saja.

Alhamdulillah, saya bersyukur telah menangkap makna lain tentang hiruk pikuk keabsahan ijazah itu. Boleh jadi ini GR, tampaknya kawan-kawan komunitas pendidikan tinggi tengah menggantung rindu, tentang kisah dongeng penjual ijazah yang berceceran di sudut-sudut Tokyo, Osaka dan Shikoku. Saya berjanji untuk memungutinya kembali sebagai hadiah tahun baru. Selamat menapaki tahun 2018, semoga anda sekalian sehat selalu. Wass.

Supriadi Rustad, Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Perguruan Tinggi, Kemenristekdikti; Pelaksana Tugas Rektor Universitas Halu Oleo, Kendari (2016-2017); Guru Besar Universitas Dian Nuswantoro, Semarang; Anggota Majelis Pendidikan Tinggi (2016-2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *