Berikut ini nukilan dongeng dari negeri elok rupawan yang mengawang di atas awan. Tidak ada habis-habisnya kisah itu mengalir, menjalar dan menggelombang, membenamkan kerinduan semakin lama semakin dalam.
Sekali layar terkembang, pantang biduk berpulang. Itulah mungkin filosofi masyarakat nun jauh dipandang yang kini dianut oleh sang mantan pimpinan. Selain menggugat ke pengadilan ternyata ia masih tekun menabuh genderang. Beberapa data kuantitatif ia jungkir balikkan berulang-ulang, namun justru ujungnya malah semakin jelas menunjukkan ia punya banyak belang.
Berbagai manuver yang diberitakan oleh media biasanya memiliki agenda tertentu yang telah disiapkan dengan matang. Saya melihat ada korelasi antara frekuensi pemberitaan dan intensitas gugatan ke pengadilan. Mungkin maksudnya, berita-berita itu bisa mempengaruhi netralitas aparat dan juga persepsi masyarakat awam.
Dengan cerdik ia menggelindingkan sebuah isu dari tanah kelahiran. Keabsahan ijazah yang di tanda tangani oleh pelaksana tugas rektor mulai dipersoalkan. Praktek baik di masa lampau yang telah terjadi di ratusan universitas itu kini diungkit hanya untuk melapangkan jalan agar ia kembali punya jabatan dengan mencoba mempengaruhi kemandirian pengadilan.
Bantahan-bantahan di berbagai media justru semakin meneguhkan rekor dunia yang semakin menjulang. Konon ia membimbing 100 doktor bukan untuk satu tetapi sekian banyak angkatan. Tampaknya ia sedang menjelaskan rasionalitas angka 100 yang sudah terlanjur diumumkan, seolah ia mengharapkan permakluman karena angka sebesar itu untuk bimbingan doktor banyak angkatan. Sepintas upayanya akan bisa mengelabuhi banyak pikiran, namun dongeng-dongeng sebuah negeri di atas awan terus berkisah tentang kebenaran.
Di manapun universitas, jumlah doktor yang dibimbing pasti lebih besar dari mereka yang diluluskan. Alih-alih menghitung jumlah peserta yang dibimbing, mendingan menghitung jumlah yang sudah menjadi lulusan. Memvalidasi data jumlah doktor yang telah diluluskan jelas sangat gampang, misalnya dengan memeriksa disertasi dan melakukan uji silang dengan surat penugasan sebagai promotor dan surat tugas panitia ujian. Kiranya cara ini sangat meyakinkan karena sebagian besar surat penugasan itu ia sendiri yang membubuhkan tanda tangan.
Dongeng ini mengungkap seorang promotor telah menorehkan rekor dunia yang mengguncang rimba persilatan di luar semesta alam. Bukti fisiknya telah diperiksa dan dipersandingkan dan kini tertata rapi di tempat penyimpanan. Ternyata ia telah meluluskan 612 doktor dalam 8 tahun angkatan. Ketika harus diuraikan, tahun 2010 lulus 28 orang, tahun 2011 lulus 29 orang, tahun 2012 lulus 87 orang, tahun 2013 lulus 89 orang, tahun 2014 lulus 70 orang, tahun 2015 lulus 109 orang, tahun 2016 lulus 120 orang dan tahun 2017 lulus 80 orang. Jika dulu angka 100an sempat membuat pembaca terheran-heran, saya berdoa semoga angka 600an ini tidak membuat kita jatuh pingsan.
Karena memiliki terlalu banyak kawan, seorang profesor bisa membuat data menjadi barang mainan dan dagangan. Menjadi jelas sekarang, angka 100an yang ia akui di televisi dan koran berkorelasi hanya dengan jumlah lulusan pada satu tahun 2016 yang silam. Hayo kawan, mau diplintir ke mana lagi data itu sekarang?
Tuhan memberikan kehidupan kepada manusia dengan kelengkapan batas umur agar sang ciptaan tidak berbuat sembarangan. Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti) memberikan batasan kepada promotor maksimal membimbing 10 calon doktor dalam waktu bersamaan . Jika rata-rata peserta doktor tersebut lulus dalam waktu 3-4 tahun, maka dalam waktu 8 tahun seorang promotor meluluskan tidak lebih dari 30 orang.
Batasan yang tercantum di SN Dikti ternyata telah dipikirkan secara matang. Seorang kolega ITB yang saya kenal sangat produktif ternyata baru meluluskan 22 doktor hingga usianya yang menuju kepala enam. Beberapa kolega UI, IPB dan UGM yang sangat produktif juga mengaku secara komulatif hingga usianya sekarang baru meluluskan doktor kurang dari 30 orang.
Menurut penelusuran saya, di belahan jagad manapun belum ada orang yang semasa hidupnya sanggup meluluskan doktor beneran hingga ratusan orang. Mengapa demikian?, karena para cerdik pandai itu sangat peka terhadap kualitas dan batas kepantasan. Ia sangat miskin alasan untuk bisa menerima dan cepat curiga (tidak bahkan bangga) jika permintaan bimbingan terus berdatangan.
Promotor yang tidak mengenal batasan sejatinya sedang memerankan dirinya menjadi Tuhan. Tidak hanya Tim Eka, Dirjen, Sesjen, Menteri dan bahkan Presiden pun kini ia cantumkan sebagai lawan pada materi gugatan. Ya Allah yang maha penyayang, sungguh cahaya agungMu menjadi sejatinya penerang.
Minggu depan tampaknya perkara telah dijadwalkan untuk disidangkan, dan dongeng ini mungkin bisa digunakan untuk sedikit memberi pemahaman. Seperti pada laporan dan gugatan sebelumnya, ternyata teman kita yang satu ini memang penggemar barang asal-asalan. Ia mencantumkan nama saya dalam gugatan hanya bersumber dari berita koran yang sekalipun saya tidak pernah bertemu atau melakukan wawancara dengan sang wartawan.
Tampaknya sikap asal-asalan itu memang sudah menjadi karakter bawaaan. Sikap itu pula yang dipertontonkan ketika sebagai rektor ia membuat surat keputusan tentang sebuah toleransi kemiripan yang di kemudian hari dipersoalkan oleh kementerian. Surat keputusan itu patut diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya pemecatan.
Sikap asal-asalan ditunjukkan oleh cara pembuatan Surat Keputusan tanpa didasari oleh kajian akademik yang mapan. Pada draf awal, karya ilmiah sarjana, magister dan doktor secara berturut-turut tertulis boleh mengandung 60 %, 55 % dan 50 % kemiripan. Kemudian angka-angka itu ditindih oleh berbagai coretan tangan yang bersangkutan hingga menjadi angka akhirnya sekarang. Alhamdulillah, SK yang didisain untuk melindungi pelaku tindak curang itu sekarang sudah dibatalkan oleh pejabat baru yang rupawan.
Segelintir alumni datang membantu sebagai wujud kesetiakawanan. Konon ijazah sang alumni diragukan oleh atasan. Mereka menyampaikan sejumlah kesaksian bahwa untuk lulus doktor mereka telah menjalani 10 kali bimbingan. Spontan kesaksian ini ditanggapi ramai oleh berbagai grup akademisi dan akhirnya malah menjadi bahan tertawaan dan candaan. Seorang kawan yang baru saja lulus doktor dari ITS melempar ujaran, jika 10 kali bimbingan menjadi indikator kelulusan maka ia bisa lulus doktor dalam waktu satu bulan.
Sekolah doktor itu sekolah untuk menjadi ilmuwan, bukan untuk gagah-gagahan. Interaksi antara promotor dan calon doktor adalah interaksi keteladanan yang begitu mendalam. Ia mentransformasikan kebaikan dan kearifan, bukan hanya sekedar ilmu pengetahuan. Ia sama sekali tidak bisa dijelaskan hanya oleh 10 kali bimbingan, dan angka beginian sangat tidak pantas dibangga-banggakan.
Alhamdulillah, akhir tahun lalu saya berkesempatan ke Jepang mengunjungi peserta PMDSU (Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul) yang sedang menjalani magang penelitian. Itu adalah salah satu program doktor unggulan dalam negeri dari kementerian yang digadang-gadang menjadi embrio pendidikan doktor beneran.
Minum susu sambil menyelam, saya bisa menengok si bungsu yang juga sedang sekolah di Jepang. Bersama dengan kawan-kawannya, ia, para peserta dan promotornya telah diatur berada dalam satu ruangan. Anak-anak itu mesti sudah di ruangan sebelum sensei datang, dan tidak akan berani beranjak sebelum si guru pulang. Jika sensei tidak kunjung pulang, mereka hanya bisa memanjatkan doa hingga larut menjelang.
Ilustrasi di atas tidak bersifat mutlak, hanya sekedar memberikan gambaran bahwa pendidikan doktor itu bukan barang mainan. Ia tidak pantas diselenggarakan melalui lobi-lobi dalam permainan golf di sebuah lapangan karena ia bagian paling strategis dari suatu bangsa untuk meningkatkan kualitas peradaban. Promotor yang bijak tidak akan pernah bermain golf bersama sang bimbingan dalam suatu permainan karena ia wajib menjaga sebuah kepantasan.
Negeri di atas awan memang terkenal miskin etika dan kesopanan. Ketika di negeri lain penjara mengalami kebangkrutan, justru di negeri atas angin ini penjara terus tumbuh subur dan panen raya jubelan tahanan. Ini terjadi karena manusia buta terhadap kepantasan, ketika diingatkan tentang suatu batasan, ia meradang balik menyerang mempertanyakan dasar aturan. Konon manusia itu juga sempat mempertanyakan batasan 10 bimbingan itu per hari atau per jam?
Etika telah ditinggalkan dan hukum dijadikan tumpuan untuk menyelesaikan segala macam persoalan. Baiklah, mungkin ini sebuah jalan alam bagi siapapun untuk membelanjakan uang haram. Saya tidak tahu entah sampai kapan cara-cara seperti ini akan sanggup bertahan?
Perlu sebuah proses untuk mencapai titik setimbang. Sebuah dongeng tidak harus segera dituntaskan karena mungkin masih akan ada manuver lanjutan. Sepanjang masih terus ada pengeyelan dan gugatan, pantang tangan dan pikiran ini untuk tidak mengguratkan tulisan. Selamat berakhir pekan. Wass.
Supriadi Rustad, Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Perguruan Tinggi, Kemenristekdikti; Guru Besar Universitas Dian Nuswantoro, Semarang; Anggota Majelis Pendidikan Tinggi (2015-2019).