Setiap perubahan selalu melahirkan pertentangan. Judul tulisan ini disuarakan oleh perserikatan perguruan tinggi yang baru saja menyelesaikan perhelatan, menyikapi kebijakan terbaru kementerian. Tentang kehadiran perguruan tinggi asing di negeri ini, Kemenristekdikti mengucap “ selamat datang” dan pada saat yang hampir bersamaan Asosiasi Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (APTISI) berujar “jangan”.
Sopir memandu kendaraan mengacu kepada rambu-rambu, Menteri menjalankan pendidikan tentu mengacu kepada ketentuan yang sudah baku. Tema yang tengah menjadi pertentangan itu sejatinya telah menjadi ketetapan undang-undang yang terbit enam tahun lalu. Pasal 90 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2012 Tentag Pendidikan Tinggi menegaskan tentang hal itu, perguruan tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Kedaulatan bangsa mesti tercermin pada kedaulatan perguruan tinggi. Simalakama mungkin terjadi bila kita keliru mengambil posisi, menerima berarti takut dan menolak berarti tidak berani. Takut kena embargo adalah cermin bangsa rendah diri dan kurang mandiri, sedang tidak berani berkompetisi untuk suatu prestasi adalah tanda-tanda suatu institusi akan segera mati.
Pernyataan menolak atau menerima sesungguhnya sangatlah tidak penting. Kedaulatan perguruan tinggi ditentukan oleh niatnya menghadirkan perguruan tinggi luar negeri itu kehendak nasional atau kehendak asing. Kehadiran perguruan tinggi asing harus dimaknai sebagai kebutuhan nasional, bukan keterpaksaan atau sebab lain.
Iklim kompetisi menumbuhkan jiwa ksatria untuk menaklukkan para juara dan mencetak prestasi. Itulah sebabnya di dunia sepak bola sitem kompetisi terdiri atas berbagai tingkatan divisi. Sebuah klub berjuang habis-habisan agar mereka bisa melompat memasuki divisi yang lebih tinggi, atau bertanding sangat sengit hanya agar terhindar dari degradasi.
Seorang pemain badminton sejati akan memburu pertandingan melawan pemain yang kualitasnya lebih tinggi. Seperti yang terjadi di gedung Kelurahan Padangsari, saya rela mengantri sekedar untuk mendapatkan lawan tanding yang memadai. Seringkali semangat bertanding langsung mati ketika sedang apes mendapatkan lawan main lemah gemulai.
Bagi para profesional sejati, ambisi mencetak prestasi bukan hanya sebagai tujuan akhir tetapi sudah menjadi ideologi. Seorang pebalap sepeda mendadak jelalatan dan celegukan ketika melihat sebuah tanjakan pantas didaki. Seorang petinju rela mengantri dan promosi untuk mendapatkan kesempatan bertarung dengan juara sejati.
Sebuah asosiasi perguruan tinggi secara lantang menolak kehadiran perguruan tinggi asing. Alasan bahwa sang pendatang akan mematikan pasar kampus wasta di dalam negeri jelas menunjukkan sebuah sikap inferior sebelum bertanding atau takut bersaing. Penyebutan frasa pasar kampus swasta memperjelas watak orientasi bisnis sedang menjadi pertimbangan sangat penting.
Pesaing adalah pihak yang bersaing untuk memperebutkan obyek atau tujuan yang sama. Perguruan tinggi S curiga bahwa perguruan tinggi A akan hadir untuk tujuan bisnis semata. Ketika S menganggap A sebagai pesaing, maka sesungguhnya S juga sedang menjalankan misi yang sama. Meski warna bulu berbeda, namun mereka adalah segerombolan domba yang sama.
Setengah abad yang lalu Bung Karno menyampaikan jasmerah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Perguruan tinggi asing sering dituding sebagai perguruan tinggi dari luar yang hendak menjajah. Ia akan cenderung ditolak oleh pesaingnya sesama perguruan tinggi penjajah dari dalam suatu wilayah.
Sebuah bangsa ahli hikmah akan bersyukur kepada Allah dan berterimakasih kepada penjajah. Kehadiran penjajah asing itu telah mengubah garis sejarah penjajahan pribumi oleh pribumi saudara sedarah. Seandainya dulu bangsa asing tidak menjajah, mungkin kita saat ini masih dijajah oleh keturunan Ken Arok yang culas dan serakah.
Lawan kemajuan bukan ketidakmajuan tetapi penikmat ketidakmajuan. Inilah yang menjelaskan mengapa suatu perubahan menuju kemajuan seolah menuai pertentangan. Penolakan itu biasanya diorganisir rapi seolah datang dari suatu perwakilan.
Sikap asosiasi tidak bisa mewakili aspirasi individu institusi perguruan tinggi. Setidaknya universitas tempat saya kini mengabdi sangat mendambakan kehadiran perguruan tinggi dari lembaga luar negeri. Kehadirannya dapat dimanfaatkan sebagai mitra kerja untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan prinsip sinergi atau sebagai mitra kompetisi untuk memacu energi adu lari.
Asosiasi perguruan tinggi masa kini persis seperti PSSI perserikatan hingga era tahun 80an. Sementara sepakbola sudah semakin profesional dengan meninggalkan watak perserikatan, perguruan tinggi justru malah semakin berwatak perserikatan. Ciri-ciri sepakbola perserikatan antara lain adanya status pemain PNS lokal kedaerahan, adanya ketergantungan pada catu APBN atau APBD (Anggaran Belanja Negara/Daerah), rendahnya mobilitas pemain antar perserikatan dan adanya proteksi kompetisi melalui peraturan perundangan. Hampir seluruh ciri ini sekarang dimiliki oleh perguruan tinggi sebagai institusi para pendidik dan ilmuwan.
Sudah terlalu lama perguruan tinggi di negeri ini dikelola dengan kualitas cara di bawah cara mengelola olahraga. Dosen sekarang jelas kalah profesional dibandingkan dengan pemain sepakbola. Sudah hampir dua dasawarsa mobilitas pemain sepakbola di negeri ini mencair merebak gegap gempita, namun yang terjadi di perguruan tinggi, mobilitas dosen masih jahala seperti pada orde lama.
Dosen yang mulai tahun 2005 itu konon disebut profesional, kini seperti tidak berdaya menentukan masa depan dan karirnya. Meski memiliki Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN), namun ia sama sekali tidak memiliki “kebebasan” menasional, membangun pendidikan menjelajah nusantara. Frasa Dosen Nasional seolah tanpa makna, padahal dulunya ia didisain sebagai landasan profesionalisme untuk mewujudkan kualitas pendidikan tinggi lebih merata. Di negeri ini dosen berhijrah homebase bukan karena sebuah prestasi tetapi justru karena suatu perkara.
Seringkali pikiran dan perasaan tidak selalu bersepakat. Diam atau begerak maju secara lambat bisa dirasakan bergerak mundur sekian derajad. Saat di antrean traffic light saya sering terperanjat karena kendaraan terasa mundur sesaat, padahal kenyataannya ia sedang diam di tempat. Itu terjadi karena kendaraan sebelah beranjak berangkat.
Hasil akhir dari suatu pengamatan ditentukan oleh kerangka acuan. Terhadap kerangka acuan traffic light, kendaraan saya relatif diam, tetapi terhadap kerangka acuan kendaraan sebelah, kendaraan saya jelas ketinggalan. Teori kerangka acuan telah membangunkan kesadaran.
Tidak elok kalau sebuah tulisan tidak menyajikan data. Saya mencoba menganalisis data pemeringkatan perguruan tinggi di Indonesia dan dunia. Sebuah analisi berbasis teori kerangka acuan yang berbeda untuk menunjukkan bahwa permainan angka lebih efisien daripada permainan kata-kata.
Lembaga pemeringkatan yang baik adalah yang mampu menyajikan data perguruan tinggi secara komprehensif dan akuntabel. Ia tidak mengarusutamakan sekelompok elit tertentu dan juga tidak meminggirkan atau bahkan meniadakan keberadaan kelompok perguruan tinggi yang kurang kredibel. Secara sistematis ia juga selalu melakukan evaluasi untuk menjaga dan mengawal agar data yang diterbitkan menuju kriteria reliabel.
Webometrics mengumumkan peringkat perguruan tinggi enam bulan sekali yaitu pada bulan Januari dan Juli. Inilah satu-satunya lembaga pemeringkatan yang sanggup menjangkau seluruh perguruan tinggi yang pernah ada di muka bumi. Bahkan perguruan tinggi di lubang semut pun, di tengah samudra atau di angkasa, sekiranya itu ada, tidak akan luput dan bisa menghindar dari radar CCTV.
Sampel penelitian yang paling tepat adalah perguruan tinggi yang secara nasional berkembang sangat pesat. Alhamdulillah, dalam tiga tahun terakhir, Universitas Dian Nuswantoro Semarang (Udinus) telah mampu menunjukkan geliat. Selain capaian lebih dari 40 % prodi terakreditas A, institusi juga terakreditasi A, sebagai anggota tim inti kesebelasan saya melihat data di webometrics menunjukkan signifikansi kenaikan peringkat. Tidak heran jika akhir-akhir ini perguruan tinggi yang berlokasi tepat di pusat Kota Semarang itu kebanjiran peminat.
Politisi bermain api, pengacara bermain kata dan saya mengajak pembaca bermain data. Berikut ini data peringkat Udinus di Indonesia mulai Juli 2015 hingga Januari 2018 yang terdiri atas 6 sub data. Perlu kita berikan catatan istimewa bahwa pada sub data edisi Juli 2017, Webometrics telah membatalkan pemeringkatan repositori seluruh perguruan tinggi karena mengandung banyak perkara.
Deretan sub data (66), (61), (33), ( 24) , (23), (19) jelas menunjukkan bahwa di dalam kerangka acuan Indonesia, peringkat Udinus sedang membubung. Jika data tersebut kita transformasikan ke dalam kerangka acuan dunia, Webometrics menunjukkan data menjadi (5.499), (4.589), (3.405), ( 3468), (3777), (3.468), sebuah deret peringkat yang bersifat osilasi dan sejak Juli 2016 cenderung menurun. Perguruan tinggi yang di dalam negeri sedang naik daun, ternyata di kancah internasional ia sedang menapaki jalan menurun. Bagaimana peringkat perguruan tinggi di dalam kerangka acuan dunia jika peringkat domestiknya konsiten terus menurun?, ya terjun!!!.
Dalam konteks daya saing global, kerangka acuan nasional jelas tidak layak untuk dipertahankan karena ia hanya akan melahirkan jago kandang. Inilah yang menjadi roh dari kebijakan pemerintah bahwa menghadirkan perguruan tinggi asing menjadi sebuah kebutuhan. Kehadirannya akan mengubah cara pandang, kerangka acuan dan tentu saja kelak juga termasuk mengubah hasil pengamatan.
Suatu penolakan akan mematikan silaturahim dan persahabatan. Alih-alih menyampaikan penolakan, lebih elegan kita merumuskan persyaratan. Ciri-ciri organisasi modern dan maju adalah tidak anti perubahan dan sanggup menjalin kerjasama bergandengan tangan. Mungkin di dalam penolakan itu sedang tersembunyi sebuah ketakutan akan kehilangan banyak kenikmatan.
Persyaratan utama perguruan tinggi A boleh beroperasi adalah jika ia lebih baik dari perguruan tinggi top di negeri ini. Mungkin ITB, UGM dan UI dapat mewakili kelompok the top three. Mohon maaf, Perguruan tinggi asing yang abal-abal harus dilarang datang mengingat di sini sudah ada banyak sekali.
Ups, ada yang salah pembaca! Judul di atas kurang dua huruf dan dua tanda baca. Tolong ditambahkan ini ya : , Ha?
Wass.sr
Supriadi Rustad, Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Perguruan Tinggi, Kemenristekdikti; Guru Besar Universitas Dian Nuswantoro, Semarang; Anggota Majelis Pendidikan Tinggi (2015-2019); Anggota Dewan Pakar ABPTSI.