Tulisan ini tidak lagi mengawang di atas awan, tetapi menjejak bumi Jakarta dan Malang. Kedua kota itu menjadi saksi suatu persoalan akademik meluber ke kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Mungkin ada baiknya peristiwa akademik memasuki ranah pengadilan supaya masyarakat lebih banyak memperoleh pembelajaran.
Saya mengakui telah banyak mengkritik keputusan Pelaksana Tugas (Plt) Rektor perguruan tinggi besar di Jakarta (PTN) tentang sanksi terhadap lima orang doktor pelaku tindak plagiat. Tulisan ini ingin mengungkap sisi positif dari keputusan pak Plt yang nyata-nyata menyebal dari pakem hukum. Saya melihat ada aspek keadilan yang ingin diperjuangkan oleh beliau melalui keputusan yang nyleneh itu.
Sepenuhnya saya memahami sebuah jalan pikiran waras, jika Plt mencabut ijazah para pelaku tindak plagiat, maka beliau akan berhadapan dengan gugatan para plagiator yang notabene pejabat daerah. Pembaca tentu faham benar bahwa pak rektor yang sekarang bukanlah penduduk organik universitas itu. Sangat tidak adil kalau harus beliau yang menanggung resiko demikian besar. Pemberian tenggat waktu 1 tahun kepada para plagiator untuk mengulang disertasi (tanpa mencabut ijazah) merupakan kebijakan yang adil agar nantinya resiko menghadapi gugatan para doktor plagiat itu ditanggung oleh rektor baru (definitif) yang hampir pasti berasal dari penduduk asli.
Setidaknya ada 3 (tiga) hal melegakan yang terkandung di dalam Surat Keputusan (SK) No. 279/SP/2018 Tentang Penanggulangan Plagiat Lulusan Program Doktor Ilmu Manajemen tertanggal 6 April itu. Pertama, diktum KESATU menetapkan telah terjadi plagiat pada disertasi 5 orang doktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Saya mengangkat topi tinggi-tinggi karena diktum ini telah mengobati rindu parah akan keputusan akademik yang ksatria dan berwibawa, lumayan ada rasa ITB juga. Diktum ini akhirnya menjadi benteng kokoh yang melindungi Tim EKA dari sejumlah gugatan melalui sejumlah lembaga penegak hukum.
Kedua, diktum KEDUA keputusan itu memberi kesempatan kepada para doktor pelaku tindak plagiat melakukan pendaftaran ulang sebagai mahasiswa aktif dan memenuhi persyaratan, mekanisme dan penilaian disertasi mulai dari penyusunan proposal, pembimbingan, seminar hasil penelitian, publikasi artikel ilmiah, ujian tertutup dan ujian terbuka. Pengalaman telah menasehati saya untuk segera yakin secepat Blink (Gladwell, 2010), bahwa keseluruhan persyaratan yang tercantum pada SK tersebut sungguh sangat sulit dan mustahil bisa dipenuhi oleh doktor abal-abal manapun. Saya meyakini bahwa keyakinan saya ini juga menjadi keyakinan pak Plt sekarang.
Ketiga, diktum KEEMPAT menyatakan bahwa dalam hal nama-nama sebagaimana dimaksud dalam diktum KESATU menolak untuk menggunakan kesempatan sebagaimana dimaksud dalam diktum KEDUA, ijazah Doktor Ilmu Manajemen Program Studi Ilmu manajemen yang telah diberikan dinyatakan batal. Saya meramal pembatalan ijazah itu benar akan terjadi sesaat setelah tanggal 30 April 2019. Seandainya peserta remidi bisa memenuhi syarat doktor sebelum tanggal itu, maka akan terjadi untuk pertama kali di dunia yaitu ijazah diterbitkan tahun 2016 untuk disertasi yang terbit tahun 2019. Ini jelas akan menjadi best practice program percepatan doktor di Indonesia.
Penegakan norma dan etika akademik mestinya dapat diselesaikan secara berwibawa di forum ilmiah perguruan tinggi dan kementerian, bukan diselesaikan secara hukum di kepolisian, kejaksaan atau pengadilan. Namun saya mencermati, suatu kasus akademik berpotensi meluber menjadi gugatan di pengadilan termasuk ke ranah pidana ketika perguruan tinggi dan kementerian tidak lagi bisa menjaga kewibawaan. Inilah sejatinya alasan utama saya selama ini menyampaikan kritik dan kegelisahan melalui sejumlah tulisan.
Umumnya masyarakat termasuk aparat hukum mengira persoalan plagiat atau penjiplakan itu hanya diatur di dalam Undang-undang Hak Cipta. Pandangan ini jelas keliru karena ternyata ia telah diatur dengan sangat baik dan rinci di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Bahkan konstruksi hukumnya berupa pidana bagi pihak-pihak yang melakukan plagiat untuk mendapatkan gelar/ijazah dan promosi jabatan guru besar, serta pihak yang turut membantunya.
Undang-undang Sisdiknas telah dengan sangat baik meletakkan dasar kokoh bagi tumbuhnya budaya akademik di perguruan tinggi dengan menyiapkan ancaman pidana terkait dengan hasil perbuatan curang, plagiat atau penjiplakan. Pasal 25 ayat (2) menyatakan lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya. Pasal ini diperkuat oleh (Junto) Pasal 70, lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Hakekatnya, SK Nomor 279 yang ditandatangani oleh Plt Rektor atas nama Menteri jelas bertentangan dengan dan tidak menjalankan amanah undang-undang. Keputusan itu memuat substansi bahwa ijazah para palgiator itu ketika diterbitkan pada tahun 2016 dalam keadaan belum memenuhi persyaratan. Ini jelas mengandung unsur pidana yang sudah diatur di dalam Sisdiknas juga. Kasus pidana itu bisa melibatkan sang pemberi gelar atau penerbit ijazah, mereka yang memperolehnya dan berbagai pihak yang turut membantunya.
Pasal 68 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi,dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). SK Nomor 279 yang tidak membatalkan ijazah itu justru telah menciptakan lubang hukum pidana bagi rektor. Pasal ini mengikat kepada siapapun termasuk komisi akademik, ketua senat, dewan guru besar, dekan, rektor, dirjen, menteri dan pejabat struktural lainnya yang mencoba membiarkan, menghalangi, atau menutupi fakta plagiat.
Pasal 68 ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi,dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Ya, sekali lagi SK Nomor 279 yang tidak membatalkan ijazah itu juga telah menciptakan lubang hukum pidana bagi para plagiator. Lubang-lubang ini akan efektif bekerja ketika kelak persaingan dan rivalitas politik menjadi semakin ketat, apalagi para plagiator itu sosok pimpinan daerah.
Acapkali unsur pidana tindak plagiat tidak bisa dihindari dan dikendalikan oleh perguruan tinggi. Itu bisa terjadi salah satunya melalui delik aduan, misalnya ketika pemilik karya asli melakukan gugatan kepada pelaku plagiasi. Kasus ini pernah terjadi di Riau dan Bandung, dan alhamdulillah ketika masih betugas di Dikti saya pernah diberi kesempatan untuk ikut mengurusi perkara ini.
Unsur pidana tindak plagiat juga bisa terjadi tanpa delik aduan ketika hasil jiplakan itu digunakan oleh yang bersangkutan untuk kenaikan jabatan sehingga berimplikasi kepada kerugian negara akibat mencairnya tunjangan jabatan. Pelaku tindak plagiat dapat didakwa melakukan korupsi karena memenuhi 2 unsur utama yaitu memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan negara. Dugaan kasus semacam ini sekarang sedang menimpa salah satu dosen yang kebetulan juga salah satu pimpinan perguruan tinggi negeri (PTN) di Malang.
Sebagaimana diberitakan sejumlah media di Jawa Timur, ternyata anggota masyarakat biasa bisa melaporkan tindak plagiat kepada aparat hukum. Pada kasus plagiat di salah satu PTN di Malang, seorang warga masyarakat telah mengadukan kasus itu kepada Polres Makota Malang. Kini sejumlah saksi dari PTN tersebut tengah diperiksa oleh polisi. Kasus ini tampaknya akan menjadi beban berat bagi terduga pelaku karena baik pihak yang dijiplak karyanya (mantan rektor) maupun rektor yang sedang bertugas lebih memilih menunggu keputusan hukum. Surat permintaan maaf dari terduga pelaku kepada pemilik karya asli membuat sang mantan rektor yang arif itu bergeming.
Selain menghadapi dakwaan korupsi, pelaku plagiat yang menggunakan hasil jiplakan untuk mendapatkan jabatan guru besar juga akan terkena unsur pidana sesuai Pasal 68 ayat (4) UU Sisdiknas. Pasal tersebut menyatakan setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama limatahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Seorang guru besar yang melakukan plagiat ketika memperoleh jabatan profesor, dapat dikenakan dakwaan melakukan tindak pidana ganda, korupsi dan menggunakan gelar jabatan tidak sesuai peraturan perundangan.
Undang-undang dibuat oleh peradaban manusia bukan hanya untuk dikumandangkan tetapi untuk dijalankan. Saya bersyukur telah ditugasi sebagai ketua Tim EKA yang banyak menjalani gugatan dan pemeriksaan. Di tengah-tengah berinteraksi dengan para petugas itu saya berhasil membangun komunikasi dengan mereka terutama dalam upaya menyosialisasikan aspek-aspek hukum dari UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas dan UU No 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Alhamdulillah, cukup banyak petugas yang mengaku menikmati tulisan-tuisan saya di blog itu sehingga kini terjalin hubungan melampaui hubungan tugas.
Saya meyakini hidup bahagia itu bisa dicapai oleh manusia ketika ia bisa mencapai taraf keseimbangan. Saya merasakan kehidupan terkait dengan tugas Tim EKA terasa sangat timpang karena terlalu banyak menerima gugatan dan pemeriksaan. Rasanya pertimbangan saya sudah mantap dan matang untuk berjalan bersama angin menyibak menyeberangi awan. Ya Allah ya Tuhan, kami mehohon hujan yang menyirami dan membasahi jiwa-jiwa kering kerontang.
Selamat merayakan Idul Fitri 1439H
Kami ikhlas memaafkan kesalahan bapak/ibu pembaca sekiranya ada dan mohon maaf lahir batin, wass.
Supriadi Rustad, Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Perguruan Tinggi, Kemenristekdikti, dan Guru Besar Universitas Dian Nuswantoro, Semarang.