Plagiat Di Balik Asmara (1)

Asmara antara pria dan wanita merupakan kisah yang tak habis-habisnya dieksplorasi oleh peradaban manusia. Di Mesir puluhan tahun sebelum masehi terjadi cinta segitiga ratu Cleopatra sehingga dunia sibuk berspekulasi apakah benar Caesarion (si Caesar kecil) itu anak Julius Caesar yang perkasa. Meski semua tahu dia dan Caesar sering berlibur bersama ke Aleksandria, namun semua juga tahu bahwa sang ratu juga menikah dengan saudara kandungnya.

Cinta segitiga ternyata tidak hanya menghiasi sejarah Mesir purba, tetapi juga sepanjang sejarah dunia. Pada akhir abad yang lalu di Inggris, roman cinta segitiga Putri Diana juga telah berhasil mengeksitasi sejumlah birahi kaum hawa dan pria. Saya bersyukur karena persitiwa itu terjadi ketika saya sudah terbilang dewasa, setidaknya sudah 10 tahun membina rumah tangga.

Tidak selamanya cinta segitiga itu njlimet misterius sebagaimana kisah Cleopatra dan Diana. Di Indonesia berkembang subur cerita dari India yaitu kisah cinta segitiga yang lebih sederhana antara Rama, Sinta dan Rahwana. Rama dan Sinta telah berpagut hati dan mata pada terbitan matahari sebelum Rahwana menyadari kecantikan Sinta. Semua orang tahu bahwa Rama adalah jodoh sejati Sinta sehingga masyarakat menempatkan Rahwana dalam radius terlarang menjamah sang jelita.

Tak seorangpun membela Rahwana, kecuali bangsa raksasa berwujud manusia tetapi bengis berhati pikiran jahala. Pada akhir cerita, Rahwana beserta bangsawan raksasa dihancurkan oleh barisan kera, makhluk menyerupai manusia tetapi setia kepada negara dan berhati mulia. Peperangan bangsawan raksasa melawan barisan primata mengandung pesan bahwa pimpinan yang semena-mena selalu dikalahkan oleh rakyat jelata yang mencintai lembaga kesucian cinta.

Saya baru menyadari indahnya bahasa setelah diceramahi oleh seorang kolega pakar linguistik Universitas Dian Nuswantoro Semarang (Udinus) Dr. Yumanto awal tahun ini pada acara seminar bahasa melayu di Melaka. Dari sudut pandang lingustik, ternyata wanita itu memiliki daringan lebih luas dan besar daripada pasangannya. Itulah sebabnya seorang wanita dapat melahirkan sejumlah wanita dan pria, di dalam wanita ada wanita dan pria tetapi di dalam pria hanya ada pria. Mungkin itulah yang menjelaskan hingga sekarang kita memiliki ibu kota dan ibu negara.

Pria dan wanita dapat dikenali melalui kata yang mewakilinya. Di dalam kata ganti (English) she ada he, di dalam woman ada man, di dalam female ada male dan di dalam kata ganti (Ind) dia ada ia. Jadi kata ganti dia mestinya digunakan untuk mewakili para wanita dan kata ganti ia dipakai untuk mewakili kaum pria. Tentu tentang kebenaran teori ini terserah kepada penafsiran pembaca dan para ahli Bahasa.

Hubungan antara artikel ilmiah dan media yang menerbitkannya (jurnal, prosiding dst.) dapat dianalogikan sebagaimana hubungan lingustik antara pria dan wanita. Artikel ilmiah berwatak pria karena ia menjadi bagian dari media (wanita) yang memuatnya. Saya sedang mengajak pembaca bermain logika, media mengandung artikel, bukan sebaliknya, artikel mengandung media.

Pelarangan terhadap tindak plagiat karya ilmiah dapat diungkapkan lebih melankolis melalui kisah asmara yang menghasilkan pria dan wanita. Penggunaan istilah asmara pada tulisan ini jelas tidak begitu sempurna karena mungkin masih pada seri pertama. Apapun kisah asmaranya, tidak mungkin seorang pria memiliki 2 ibu kandung yang berbeda. Karena ia dikandung secara terbatas oleh satu media, maka haram hukumnya artikel ilmiah terdapati pada media lainnya, apalagi tertulis atas nama berbeda. Inilah sejatinya landasan filosofis dari Permendiknas No 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat yang akan saya uraikan dengan cara yang sangat sederhana.

Manusia yang suka berlama-lama menyelesaikan soal sederhana layak diperiksa tingkat kecerdasannya. Di dalam konteks pembangunan budaya akademik, plagiat merupakan pelajaran pertama para pelajar dan mahasiswa. Ia merupakan ilmu paling sederhana dari segala ilmu yang ada tetapi para cendekia harus memiliki nilai sempurna.

Mengacu kepada Permendiknas No 17 Tahun 2010, saya mengupas tiga klausul utama untuk menunjukkan betapa penilaian plagiat itu sangat sederhana. Pasal 2 ayat (1) e menyatakan bahwa plagiat meliputi tetapi tidak terbatas pada: menyerahkan suatu karya ilmiah yang dihasilkan dan/atau telah dipublikasikan oleh pihak lain sebagai karya ilmiahnya tanpa menyebutkan sumbernya. Pedoman demikian jelas sudah teknis operasional yaitu jika ada 1 artikel dipublikasikan di 2 media berbeda atas nama penulis yang benar-benar berbeda, maka sudah dapat dipastikan telah terjadi plagiat karya ilmiah ketika tidak ada rekognisi antar kedua media.

Klausul ini menutup rapat kemungkinan di antara kedua artikel tidak ada plagiat. Belajar logika cepat, salah satu penulisnya atau kedua penulisnya sama-sama telah berbuat jahat. Jika ternyata keduanya telah berbuat jahat, dapat dipastikan artikel itu hasil rekayasa atau manipulasi data penelitian yang dicatat oleh malaikat sebagai perbuatan laknat.

Seseorang yang menyerahkan karya ilmiah kepada suatu jurnal dengan mendaku sebagai karyanya padahal karya itu telah diterbitkan sebelumnya oleh penulis lain pada sebuah prosiding, maka ia sesungguhnya telah memenuhi syarat plagiat. Tidak masuk di akal sehat ketika penulis artikel yang lebih dulu terbit yang dicap sebagai yang berbuat. Ia tidak bisa dijelaskan dengan argumentasi latihan presentasi, latihan pidato atau pencak silat.

Saya tidak menemukan kemungkinan ada penafsiran ambigu pada klausul utama kedua tentang pengertian sumber sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) karena ia dirumuskan secara rinci dan unik. Sumber terdiri atas orang perseorangan atau kelompok orang, masing-masing bertindak untuk diri sendiri atau kelompok atau untuk dan atas nama suatu badan atau anonim penghasil satu atau lebih karya dan/atau karya ilmiah yang dibuat, diterbitkan, dipresentasikan, atau dimuat dalam bentuk tertulis baik cetak maupun elektronik. Ringkasnya, jika ada seorang artikel karya ilmiah yang dipublikasikan di sebuah prosiding dan dapat ditelusuri secara online di sebuah repositori perpustakaan universitas, maka pemilik karya itu memenuhi syarat sebagai sumber yang otentik.

Ketika tidak ada perbedaan persepsi tentang makna perkara, pada umumnya manusia suka mempersoalkan cara. Alhamdulillah, Permendiknas telah mengatur cara melakukan penilaian plagiat secara jelas meski tetap belum sempurna. Klausul ketiga menggariskan bahwa penilaian plagiat dilakukan dengan cara persandingan karya.

Persandingan karya ilmiah dilakukan dengan cara membandingkan 2 (dua) dokumen karya yang disengketakan. Pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal diduga telah terjadi plagiat oleh dosen/peneliti/tenaga kependidikan, Pimpinan Perguruan Tinggi membuat persandingan antara karya ilmiah dosen/peneliti/tenaga kependidikan dengan karya dan/atau karya ilmiah yang diduga merupakan sumber yang tidak dinyatakan oleh dosen/peneliti/tenaga kependidikan. Jika seorang pria memiliki dua wanita yang saling bersengketa, maka aneh rasanya jika kemudian ia malah menghadirkan wanita tambahan.

Sebuah pertumbuhan ilmu sama yang terpublikasi di dua media berbeda dengan penulis berbeda berpotensi besar menyesatkan ilmu pengetahuan dan membuat bingung ilmuwan. Selain berpotensi menjadi sumber sengketa antara ke dua media yang menerbitkan, acapkali ia juga akan menjadi sumber sengketa perorangan ilmuwan. Inilah alasan mendasar mengapa di dunia pendidikan nyontek dan plagiat digolongkan sebagai perbuatan haram.

Saya sangat meyakini perilaku plagiat itu bukan sebuah kecelakaan atau kebetulan tetapi sebuah kebiasaan. Data-data yang saya kumpulkan menunjukan bahwa para pemilik kebiasaan itu jelas memiliki watak asli dan konsisten menyimpang. Saya jelas masih teringat kenangan indah ketika dulu masih belajar memulai penelitian.

Rupanya Tuhan sudah bosan dengan sang pemilik kebiasaan, maka terjadi kesepakatan antara malaikat dan syaitan. Ketika si pemilik kebiasaan menjadi pimpinan dan harus menyusun peraturan, maka syaitan meniupkan bisikan untuk membuat peraturan secara asal-asalan dan akal-akalan. Malaikat terbang menyelinap keheningan kementerian dan tiba-tiba banyak penduduknya tertawa cekikikan.

Ya, bagaimana lagi, pertandingan tak sepadan itu akhirnya dibatalkan karena aturan mainnya tak sejalan. Baru kali ini saya menyaksikan sebuah institusi terhormat dalam sehari mensubmit tiga macam versi peraturan, namun toh tetap tidak cocok dengan kata undang-undang. Ya Allah, kirimkan malaikat terbaikmu untuk memancarkan bimbingan paling lambat minggu depan.

Keterbukaan bisa saja menjadi slogan, namun ternyata sejumlah kejadian penting telah sempat berhari-hari sengaja dirahasikan. Hujan malam hari menyibak awan dan alam semesta kini menjadi terang benderang. Saya tertegun menyaksikan saudara-saudaraku bisa leluasa melihat rembulan dan bintang setelah bertahun-tahun berselimut ketakutan.

Supriadi Rustad, Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Perguruan Tinggi, Kemenristekdikti, dan Guru Besar Universitas Dian Nuswantoro, Semarang.