Asmara Di Balik Plagiat : Mengapa Rektor Tidak Boleh Plagiat?

Tahun lalu seorang rektor perguruan tinggi negeri dipecat. Dipastikan jabatan guru besarnya dicabut karena ia telah melindungi para pelaku plagiat. Meski sempat diwarnai dengan aksi gugat menggugat, namun dalam pencegahan dan penanggulangan tindak plagiat, ternyata Kementerian memiliki posisi norma dan hukum yang sangat kuat. Para hakim di sidang pengadilan pun sering terperanjat, tampak bersemangat dengan ekspresi menguat tatkala menjumpai nilai akademik diperoleh dengan cara jahat.

Pemecatan terhadap pimpinan perguruan tinggi yang melindungi plagiator memiliki rujukan yang sangat jelas. Klausul itu tertuang pada permendiknas nomor tujuh belas pasal dua belas. Sebagaimana dipesankan oleh ayat (5), dalam hal pimpinan perguruan tinggi tidak menjatuhkan sanksi, Menteri dapat menjatuhkan sanksi kepada plagiator dan pimpinan perguruan tinggi yang pura-pura malas.

Sebuah peraturan telah mengatur intervensi Menteri kepada perguruan tinggi dengan cara yang unik. Permendiknas No. 17 Tahun 2010 layak dicermati oleh mereka yang mengaku ilmuwan dan pendidik. Ayat (6) Pasal 12 menyatakan bahwa sanksi kepada pimpinan perguruan tinggi berupa teguran, peringatan tertulis, dan pernyataan Pemerintah bahwa yang bersangkutan tidak berwenang melakukan tindakan hukum di bidang akademik.

Pimpinan institusi manapun tidak boleh melawan tugas dan amanah yang dititipkan. Sesuai pasal 6 Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010, salah satu tugas pokok rektor adalah mengawasi pelaksanaan dan mendeseminasikan kode etik sehingga tercipta budaya anti kecurangan. Rektor yang melindungi plagiator harus diberhentikan karena ia telah melawan tugas pokoknya untuk menanam kejujuran.

Logika alami berbicara murni seperti hati nurani. Pencuri tentu memiliki dosa yang lebih besar dari siapapun yang membantunya mencuri. Ketika sebuah pemecatan menjadi ganjaran bagi seorang rektor yang melindungi plagiasi, lantas ganjaran apa yang paling tepat untuk rektor yang terbukti melakukan plagiasi? Jawaban saya, minimal sama dan tidak boleh lebih ringan dari mereka yang mencoba melindungi.

Rektor yang melakukan plagiasi dapat diibaratkan seperti koruptor memimpin pemberantasan korupsi. Andaikan saja ia banyak menulis tentang korupsi di perguruan tinggi, tetap saja omongannya tidak layak dipercayai. Kalaupuan ia terlanjur menjadi tokoh, maka ia adalah tokoh antagonis di kalangan akademisi.

Seorang akademisi antagonis selalu menghindari diskusi. Ia lebih suka memamerkan foto akrabnya bersama Menteri, mungkin maksudnya untuk menakut-nakuti. Perilaku yang sangat menonjol adalah doyan melapor kesana kemari, sithik-sithik lapor polisi. Tampaknya ia lupa menyadari pengalaman sebelumnya bahwa semakin sering melapor kepada polisi, semakin dekat usia jabatan rektor akan diakhiri.

Rektor yang terbukti melakukan plagiasi pada hakekatnya telah melawan jabatan yang disematkan oleh Menteri. Dengan demikian ia telah melawan dirinya dan sekaligus melawan Menteri. Ketika ada dugaan terhadap dirinya, maka buru-buru ia membentuk tim investigasi yang bekerja setengah hari selesai dengan pesanan khusus berupa keputusan ia tidak melakukan plagiasi.

Ketentuan rektor tidak boleh melakukan plagiasi telah diatur dengan sangat cermat di peraturan Menteri. Pasal 4 huruf (m) Permenristekdikti Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri, mengatur persyaratan calon pemimpin perguruan tinggi negeri , antara lain tidak pernah melakukan plagiasi. Logika dasarnya, menjadi calon saja tidak boleh apalagi menjadi pempimpin perguruan tinggi.

Bukan baru sekarang tetapi sejak dulu di Semarang ketika sama-sama sebagai kawan, saya mengenal pak M. Nasir sebagai sosok yang sangat kuat komitmennya menegakkan integritas ilmuwan. Kini pengenalan saya tersebut diperkuat oleh pengalaman membantu beliau bertugas di Kementerian. Pertama, baru di era kepemimpinan Menristekdikti yang satu ini yaitu pada tahun 2017 melalui peraturan tentang pengangkatan dan pemberhentian pemimpin perguruan tinggi, klausul anti plagiat mulai dicanangkan. Pada Permendiknas atau Permendikbud sebelumnya tentang hal yang sama, klausul semacam itu tidak pernah saya temukan.

Kedua, Menristekdikti merupakan menteri yang sangat tegas melakukan tindakan kepada mereka yang melakukan pelanggaran. Sejumlah profesor dan bahkan rektor telah ia berhentikan. Dulu keberaniannya pernah diledek hanya untuk menindak perguruan tinggi kecil berkelas guram, namun kini sejumlah perguruan tinggi negeri dan besar mulai merasakan.

Ketiga, sebagai Tim EKA saya mulai mengenali pola bagaimana Menristekdikti mengambil sebuah kebijakan. Pada kasus dugaan plagiat rektor PTN di Kendari (ketika itu saya sebagai pelaksana tugas rektor), mengingat dugaan itu menyangkut pimpinan perguruan tinggi yaitu rektor terpilih, maka kasus diambil alih dan ditangani langsung oleh Kementerian. Sementara pada kasus di PTN di Jakarta, ketika terduga palgiatornya adalah mahasiswa atau lulusan, maka Menteri mendorong perguruan tinggi sebagai pihak yang memiliki kewenangan.

Keempat, sebagai Tim EKA saya menaruh hormat kepada sikap hati-hati Menteri yang satu ini di dalam setiap pengambilan keputusan. Saya mengerti bahwa p Nasir sangat percaya dengan kredibilitas kajian Tim EKA, namun untuk memutuskan suatu perkara yang mengandung perdebatan ia selalu menggunakan pertimbangan Tim Independen yang dianggap netral tak berkepentingan. Memang pada pemberhentian seorang rektor di Manado tahun 2016 menyusul temuan Tim EKA tentang pelanggaran integritas akademik, ia tidak sempat membentuk Tim Independen karena ketika itu tidak terjadi perdebatan. Secara jantan pimpinan perguruan tinggi tersebut mengakui telah melakukan pelanggaran.

Kelima, saya mengagumi sahabat yang satu ini sebagai seorang birokrat yang pintar menerapkan ajaran leluhur. Pada kasus dugaan plagiat yang melibatkan rektor terpilih di Kendari, ia memilih menggunakan hasil Tim Independen yang berkesimpulan innocent untuk menggelar pressconference sebagai perwujudan dari ajaran mikul dhuwur. Pada kasus sebaliknya tentang pemecatan rektor perguruan tinggi di Jakarta, sang Menteri dengan sangat arif mendhem jero, dengan memilih tidak mengumumkan hasil Tim Independen yang berkeputusan guilty, seolah hasil tim itu telah tertanam dalam di alam kubur.

Keenam, saya sering mencatat pesan Menristekdikti saat Tim EKA berpamitan hendak berangkat. Ketika sedang berbicara tentang integritas akademik, beliau sering menyebut istilah fraud untuk melukiskan kejahatan akademik yang melebihi plagiat. Tampaknya, visi akuntansinya tertanam begitu mendalam dan kuat.

Ketujuh, pak Nasir adalah pejabat santri yang pertama kali mengeluarkan fatwa bahwa plagiat itu hukumnya haram. Pernyataannya yang secara tegas akan memberhentikan dosen, profesor atau rektor yang melakukan plagiat telah bersemayam di dalam begitu banyak alat rekam. Demikianlah, negeri ini memang mendambakan seorang pejabat yang ucapan dan tindakannya menimbulkan keadilan dan rasa tenteram.

Menurut kabar, saat ini Kementerian telah membentuk Tim Independen untuk mengkaji data dugaan plagiat seorang pemimpin perguruan tinggi. Sekali lagi, pembentukan Tim ini telah meneguhkan konsistensi kebijakan Menteri. Sebelumnya, Tim Investigasi dari internal perguruan tinggi telah berupaya mengasupi, namun ternyata Menteri telah memilih caranya sendiri.

Saya sama sekali tidak sedang memuji, tetapi hanya ingin menjadi bagian dari saksi. Siapapun dia, Menteri yang berintegritas baik boleh dicalonkan lagi. Semoga tulisan ini dibaca para calon presiden termasuk pak Jokowi.

Selamat berakhir pekan, wass.sr

Supriadi Rustad, Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Perguruan Tinggi, Kemenristekdikti, dan Guru Besar Universitas Dian Nuswantoro, Semarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *