Integritas Gajah Mada

Suara sang Maha Patih menggelegar membelah angkasa ketika ia melantunkan prosa amuktia palapa. Seorang legenda kehidupan  telah  bersumpah tak akan berhenti berpuasa sebelum berhasil mempersatukan Nusantara. Ya, Gajah Mada telah membangun fondasi kokoh sarat nilai integritas untuk mengembangkan sumber daya manusia Indonesia.

Pada jaman Raja Jayanegara berkuasa, Majapahit dilanda pemberontakan Ronggolawe (1309), Lembu Sora (1311), Nambi (1316) dan Kuti (1319) secara berurutan. Sebagaimana para pemberontak itu, Gajah Mada sebenarnya juga tidak menyukai kepemimpinan Jayanegara yang kejam. Lebih dalam lagi, diam-diam Gajah Mada menilai pengangkatan Jayanegara tidak sesuai peraturan karena ia anak Raden Wijaya dengan istri selir dari pulau seberang.

Perbedaan seseorang dengan lainnya bisa dicermati dari cara ia merumuskan visi perjuangan. Integritas Gajah Mada telah menempatkan sebuah perjuangan bukan untuk mencapai kekuasaan tetapi untuk membangun institusi kenegaraan (peradaban). Tidak seperti Kuti yang haus kekuasaan, Gajah Mada berjuang agar tahta dapat dikembalikan kepada pemilik syah  sesuai ketentuan undang-undang kerajaan. Lebih dari 7 abad yang lalu, telah ada putra Nusantara yang memilih berjuang menyelamatkan peradaban dari pada kekuasaan.

Ketika Jayanegara tewas bersimbah darah di tangan tabib Ra Tanca, kesempatan menganga lebar bagi Gajah Mada untuk berkuasa, namun ia tidak melakukannya. Setelah membunuh Ra Tanca, ia bersama permaisuri Gayatri memuluskan langkah Tribuana Tunggadewi menduduki tahta. Gajah Mada memiliki keyakinan (conviction) bahwa Tunggadewi lebih berhak menjadi raja karena ia adalah putri Raden Wijaya (pendiri Majapahit) dengan permaisuri Gayatri yang masih keturunan Raja Singhasari Kertanegara.

Integritas selalu mengacu kepada kemaslahatan yang sangat luas, bukan kepentingan perorangan, kelompok apalagi ormas. Orang yang memiliki integritas semacam Gajah Mada pada hakekatnya memiliki kapasitas untuk berbuat dengan benar sesuai nilai yang diyakini (conviction) meski dalam keadaan takut atau was-was. Ketika mengemban amanah, orang berintegritas melangkah dengan cepat melalui keputusan-keputusan yang diambil secara lugas dan tegas.

Baru di hari kelima bertugas memimpin pengungsian Raja Jayanegara ke desa Pedander, Gajah Mada telah memberanikan diri  kembali ke kota untuk  memetakan kekuatan Ra Kuti yang mengendalikan kekuasaan. Mungkin saja ketika itu Gajah Mada juga dihinggapi perasaan takut, tetapi tebalnya integritas telah melahirkan “keberanian” dan “keberanian” tersebut kemudian melahirkan kecepatan. Tak lama berselang, pemberontakan Kuti berhasil dipadamkan.

Seandainya harus merangkum seluruh episode dan literatur tentang sosok pemersatu Nusantara ini, saya akan memilih judul The Courage of Gajah Mada. Saya mengartikan courage sebagai nyali untuk menegakkan etika dan kebenaran ketika sedang diuji oleh sebuah peristiwa. Nyali dan kecerdasan  Gajah Mada tumbuh terasah dengan baik oleh serangkaian peristiwa pemberontakan yang digalang oleh seniornya para mantan pengikut Raden Wijaya.

Definisi saya tentang integritas Gajah Mada yang menekankan kepada begitu pentingnya peranan unsur courage,  ternyata belum begitu lama “diadop” oleh International Centre For Academic Integrity. Sebelumnya, komunitas internasional ini merumuskan nilai dasar integritas akademik meliputi 5 unsur, yaitu honesty, trust, fairness, respect, dan responsibility. Baru pada tahun 2013, courage dicantumkan sebagai unsur keenam dari the fundamental values of academic integrity (Fishman, 2013).

Bernyali atau courageous tidak selalu berarti tidak takut, tetapi memiliki kapasitas memberanikan diri mengambil sikap/keputusan secara benar (sesuai nilai yang diyakini)  meski terbayangi kecemasan. Kepada siapapun yang sedang mengelola pelanggaran integritas akademik, saya tidak sekalipun bermaksud melarang hadirnya rasa takut, tetapi yang lebih penting adalah segera memberanikan diri untuk menterjemahkan  (kata) nilai integritas itu ke dalam perbuatan. Semakin lama diam dan tidak kunjung menterjemahkan ke dalam perbuatan, sebuah tanda jaman bahwa integritas itu akan semakin hilang.

Alhamdulillah, di tengah kesibukan manusia berlomba menyelamatkan kekuasaan dan kenyamanan,  pada tahun 2018 lalu saya menyaksikan satu tim redaksi jurnal ilmiah melebarkan dada menantang pedang. Redaksi jurnal telah terbukti memiliki courage dengan memilih menyelamatkan harkat dan marwah pendidikan sebagai benteng terakhir peradaban. Terhadap laporan dugaan plagiat yang dilakukan oleh seorang rektor perguruan tinggi negeri,  mereka mampu mengambil keputusan kredibel hanya dalam waktu kurang dari dua bulan.

Di bawah banyak tekanan, pemilik integritas selalu mampu mengambil keputusan berdasarkan nilai kebenaran. Saya mendengar ketika itu ketua redaksi dihinggapi kecemasan, namun naluri integritasnya memilih rasa takut tidak boleh menjadi kambing hitam. Somasi dan ancaman laporan tindak pidana dari plagiator adalah kecemasan yang menurut dia tidak perlu dibesar-besarkan, toh nyatanya hingga sekarang ancaman itu hanya gertak sambal semarangan. Tim kuasa hukum yang disediakan oleh universitas untuk membela mereka menghadapi gugatan, terbukti sudah lama kehilangan lawan.

Jurnal ilmiah tersebut di atas bernama Litera. Ia  dikelola oleh teman-teman ahli bahasa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Meski berafiliasi di perguruan tinggi yang belum bisa dibilang besar, tetapi komunitas bahasa di perguruan tinggi ini telah terbukti mewarisi sifat-sifat kebesaran dan  integritas Gajah Mada.

Jurnal Litera yang sedang bertumbuh kembang itu memiliki nyali besar menegakkan etika dan moral akademik. Dalam bentuk kalimat singkat, redaksi berkesimpulan bahwa artikel terduga pelaku plagiat yang dimuat di Litera dinyatakan tidak asli.  Dengan tegas redaksi menyatakan bahwa pada proses submisi artikel,  terduga pelaku plagiat telah melanggar kode etik.

Undang-undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi telah mengatur dengan jelas peran perguruan tinggi dan kementerian yang menaunginya. Kementerian mengatur kebijakan umum, sedang perguruan tinggi memiliki otonomi penuh untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridarma.

Sebagai pemilik otonomi kampus,  UNY meyakini benar bahwa ia harus menjamin terciptanya kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan bagi setiap sivitas akademika, termasuk pengelola jurnal. Sementara redaksi Litera meyakini benar bahwa kode etik pemuatan artikel merupakan nilai suci dan sakral. Keyakinan-keyakinan itu menggumpal demikian bulat seperti keyakinan Gajah Mada ketika harus mentahtakan Tribuana dan memposisikan dirinya hanya sebagai pengawal.

Saya mendengar saat ini ada peristiwa aduan dugaan plagiat seorang pembesar pada disertasinya yang menjurus abal-abal di perguruan tinggi sangat terkenal. Semoga peristiwa ini bisa menguji lebih banyak lagi perguruan tinggi telah mengikuti garis visi institusi yang diteladankan oleh Gajah Mada sang pemimpin pengawal.

Supriadi Rustad, Tim Evaluasi Kinerja Akademik Perguruan Tinggi,  Kemenristekdikti; Guru Besar dan Wakil Rektor Bidang Akademik, Universitas Dian Nuswantoro, Semarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *