Pancasila Bukan Untuk Memecah Belah

Setidaknya di jaman Orde Baru dan rejim sekarang,  Pancasila dikomunikasikan secara eksklusif, membelah antara yang pancasilais dan tidak. Mirisnya, pembelahan demikian justru cenderung diperkenalkan oleh pemegang kekuasaan.

Tak dipungkiri terdapat beberapa kelompok di masyarakat yang sangat kritis terhadap pemerintah atau mungkin Pancasila, tetapi mengganggap mereka sebagai musuh negara sungguh sebuah kekeliruan besar. Sejak pemilu 2014 hingga sekarang, pembelahan di masyarakat terus terjadi seperti tak pernah ada ujungnya. Pemerintah kurang cakap menempatkan Pancasila sebagai pemersatu warga negara.

Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang kini banyak dibahas, merupakan satu dari sekian contoh dari eksklusifitas Pancasila yang justru diinisiasi oleh pihak pemerintah. Akibatnya, terjadi monopoli penafsiran Pancasila oleh yang sedang berkuasa, dan penerapan TWK kepada mereka yang sudah menjadi pegawai menunjukkan dengan jelas fenomena itu. Tes tersebut bukan menyaring untuk mendapatkan aliran yang jernih, tetapi menggunting dan melukai karir pegawai yang memiliki portofolio kinerja bagus.  

Berabad-abad sejarah di berbagai belahan dunia  menunjukkan bahwa pembelahan atas nama ideologi yang sejatinya bermotif kekuasaan itu telah menimbulkan korban kemanusiaan yang sangat memilukan. Menyingkirkan bangsa, kelompok, lawan politik, atau warga negara, dengan menggunakan alasan ideologi merupakan salah satu bentuk radikalisme yang paling keras. Cara inilah yang digunakan oleh para penguasa monarkhi, diktaktor dan bahkan teroris dalam mempertahankan atau memperebutkan pengaruh.

Bila benar TWK dirancang untuk mengeliminasi orang-orang tertentu yang dinilai tidak pancasilais, maka pemegang kekuasaan sedang menggunakan  cara-cara radikal untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Alih-alih membasminya,  kekuasaan justru sedang menabur benih-benih radikalisme di tengah masyarakat.

Meski telah terjadi rekonsiliasi 01-02 di dalam pemerintahan sekarang, namun pembelahan di masyarakat terus terjadi dan terkesan terus dipelihara melalui berbagai cara termasuk penyebutan bersifat olok-olok satu sama lain. Politik pembelahan warga negara harus segera dihentikan, demikian pula residu konflik  identitas pasca pemilu harus segera dibersihkan.  

Pemerintah harus segera beralih menggunakan cara pandang baru tentang Pancasila yang inklusif, yaitu yang mempersatukan  seluruh warga negara. Pancasila sebagai dasar negara mengikat seluruh unsur negara sehingga tidak boleh ada unsur manapun yang berhak memberikan stigma  tidak pancasilais kepada siapapun warga negara. Pancasila tidak hanya tentang kebutuhan statis keutuhan (kesatuan) NKRI , tetapi juga kebutuhan dinamis yaitu persatuan bangsa (Indonesia).

Salah satu konsekuensi dari Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah bahwa nilai-nilai Pancasila mengisi substansi seluruh peraturan perundangan. Dengan konsep ini, koherensi perilaku warga negara dengan nilai-nilai Pancasila, akan termanifestasikan secara kongkrit di dalam tindakan taatnya terhadap hukum yang berlaku.

Sebutan tidak pancasilais sungguh tidak tepat disematkan kepada warga negara yang tidak pernah terbukti melakukan pelanggaran hukum di wilayah NKRI, termasuk pelanggaran etika organisasi yang berazaskan Pancasila.  Jika hal ini dipaksakan, seperti misalnya dalam kasus penggunaan TWK, yang terjadi kemudian adalah pemberian stigma hitam secara tidak adil dan tidak beradab kepada warga negara tak berdosa, yang mestinya tidak boleh terjadi di negara yang mengaku berketuhanan.   

Seandainya pantas diucapkan, para pelanggar hukum termasuk para koruptorlah yang sejatinya  lebih “sah” didekati dengan sebutan tidak pancasilais karena mereka telah terbukti melanggar nilai-nilai Pancasila yang terserap di dalam setiap peraturan perundangan. Namun demikian, dambaan akan Pancasila yang mempersatukan memuat pesan bahwa ia tidak menghendaki sebutan tidak pancasilais itu diucapkan, apalagi oleh negara kepada rakyatnya,  bahkan kepada seorang koruptor sekalipun.

Di dalam mengelola negara, sikap pemerintah harus mencerminkan  watak inklusif ibu pertiwi yang asah, asih dan asuh kepada  seluruh anak bangsa. Kalaupun di antara anak itu ada yang nakal, seorang ibu pantas memberi teguran atau hukuman sebagai bentuk pendidikan dan pembinaan sesuai norma yang diyakini.

Nasihat (Jawa) melarang keras perempuan  manapun mengutuk atau melaknat anaknya, meski senakal apapun, dengan sebutan durhaka, sebuah sebutan untuk mereka yang membenci pengandungnya. Mengapa? Stigma durhaka biasanya diucapkan oleh seseorang yang sedang kehilangan akal, sehingga tuduhan demikian  lebih mengukur kondisi jiwa penuduhnya dari pada potensi pelanggaran dari  yang dituduh.  

Hukum diciptakan agar negara dikelola secara adil dan beradab sehingga terhindar dari praktik laknat-melaknat saudara sebangsa setanah air atas nama ideologi negara. Di dalam negara NKRI, Pancasila (yang mempersatukan) tidak memusuhi siapapun warganegara.

Sesuai dengan konsep negara hukum, setiap pelanggaran nilai Pancasila bahkan hingga yang dilakukan oleh para teroris sekalipun, harus bisa diselesaikan sesuai norma dan hukum yang berlaku, tak perlu dikaitkan dengan agama dan ideologi tertentu. Selalu menarik-narik sebuah peristiwa ke dalam bingkai agama dan anti Pancasila, justru bertentangan dengan gerakan moderasi beragama dan berbangsa yang sedang kita mulai.

Apakah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai instrumen kekuasaan justru mengembangkan konsep  Pancasila yang semakin eksklusif, tajam dan menakutkan?  Padahal, sejatinya Pancasila itu merupakan  sebuah sistem nilai yang mempersatukan seluruh elemen bangsa yang majemuk ini.